Ketika saya menoleh ke kanan dari jendela Bus TransJakarta jelang berhenti di Halte Sutoyo/BKN di Jakarta Timur, tiba-tiba mata seakan terbelalak ketika melihat spanduk di sebuah warung di seberang jalan.
Ada apa di warung itu?
Tulisan di spanduk di sebuah warung di ujung jembatan penyeberangan orang (JPO) arah Citilitan yang tiba-tiba seakan memutar balik waktu ke awal tahun 1970-an. Ada tulisan di spanduk di warung itu: Mie Sop Medan.
Wah, itu makanan saya setiap hari di jam istirahat ketika belajar di STMN 2 di Jalan Timor, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Di depan sekolah itu merupakan perumahan pegawai PJKA, sekarang PT KAI.
Di jalan itu, dikenal sebagai Jalan Timor ujung ada beberapa sekolah yaitu: STMN 2 dan STMN 3, SMAN 7 dan SMAN 8. Selain itu ada juga Perguruan Budi Murni. Di ujung jalan ada lapangan sepak bola. Tapi, sekarang saya tidak tahu pasti karena di negeri ini tanah lapang dijadikan tapak untuk bangunan umum, pemerintah dan lain-lain.
Saya pun turun di Halte Sutoyo/BKN dan keluar ke arah warung itu melalui JPO.
"Kau memang orang Medan?" tanya saya. Saya ingin memastikan bahwa yang menjual mie sop itu memang orang Medan.
"Saya orang Kabanjahe, Pak," kata perempuan yang menjaga warung itu sambil menyebut marganya yaitu Ginting dengan nama Fani (7/9-2023). Kabanjahe adalah Ibu Kota Kabupaten Karo, Sumut, sekitar 75 km arah barat daya Kota Medan.
"Pake telor, Pak," tanya Fany. Tentu saja saya menolak karena mie sop yang saya kenal selama belajar di Medan tidak pakai telur.
Semangkok mie sop Medan disuguhkan Fany. "Ini sambal andaliman, Pak," ujar Fany sambil menunjuk sambal ijo.
Menurut Fany mie sop Medan berbeda dengan bakso atau pun makanan sejenis karena bumbu mie sop Medan lebih banyak daripada bumbu bakso.
Saya aduk-aduk mie sop, tapi kok ada mie kuning. "Tadi Bapak tidak bilang jangan pake mie kuning," kata Fany. Satu porsi mie sop Medan dibanderol Fani Rp 15.000.
Rupanya, di Jakarta mie sop Medan sudah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan selera warga. Tapi, tetap tidak pakai bakso.
Semula dikenal sebagai mie so, tapi belakangan lebih populer dengan nama mei sop.
Mie sop di Medan itu pakai gajih dan kuahnya bening. Tapi, Fany lebih memilih kuah dengan rendaman daging dan tulang ayam.
Warung itu dimulai Fani tahun 2016. Tapi, ketika pandemi Covid-19 dia terpaksa tutup hampir dua tahun.
Di sepanjang jalan itu banyak warung dengan makanan khas Batak. "Warung mie sop Medan ini 100 persen halal, Pak," kata Fani yang mualaf ini sejak menikah dengan pemuda Jawa.
Fani yakin mie sop Medan yang diraciknya akan berbeda dengan yang dijual di beberapa warung. Â Soalnya, di malam hari ada beberapa warung yang juga menjual mie sop Medan. "Saya pertahakankan ciri khas bumbu dan kuahnya," kata Fani dengan nada yakin.
Sambal andaliman itu memang enak. Pedas sedikit ada pula rasa asam sehingga seimbang. Tulang ayamnya juga lunak sehingga enak dikunyah.
Saya sudah bertahun-tahun lewat jalan itu tapi tidak pernah melihat warung Fani. Rupanya, baru sekarang ada kesempatan untuk menyantap mie sop yang jadi kegemaran semasa sekolah.
Beberapa minuman dan makanan khas Medan beberapa bisa ditemukan di Jakarta. Hanya saja jarang dan biasanya di tempat-tempat tertentu. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H