Setelah belajar di SMP, ketika itu SMPN2 Padangsidimpuan, saya tidak lagi ikut ayah main tenis karena sudah ada permianan sendiri yaitu sepak bola di lahan persawahan atau di bawah pohon kelapa.
Di sekolah sendiri pelajaran olahraga lengkap: atletik [lari, lompat (jauh dan tinggi), lempar lembing dan tolak poluru], senam matras dan tentu saja voli, basket dan sepak bola.
Sekarang tidak ada lagi lapangan kasti di SD. Tidak ada pula sarana atletik dan senam di SMP. Negeri yang luas ini ternyata tidak bisa menyediakan lapangan hijau bagi warganya. Sementara di negara-negara dengan lahan terbatas tersedia banyak lapangan olahraga.
Memang, sekarang program, semisal olahraga, tidak bisa lagi top-down karena negeri ini sudah dikapling-kapling dengan dukungan UU sebagai daerah otonomi. Akibatnya, daerah tidak bisa diatur lagi dalam banyak hal kecuali hankam, moneter dan luar negeri.
Maka, amat masuk akal ketika (alm) Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan departemen karena secara de facto dan de jure semua sudah didelegasikan ke daerah sehingga tidak ada lagi hak pusat mengatur banyak aspek kehidupan di daerah.
Dalam aspek olahraga, misalnya, tidak ada lagi mekanisme yang objektif untuk menemukan talenta karena kegiatan olahraga yang minim. Kondisnya kian runyam karena bobot di sekolah formal sudah digiring ke mulok (muatan lokal) yang akhirnya membikin anak-anak bak 'kodok di bawah tempurung' (tidak mengetahui dunia luar).
Jika melihat hadiah uang tunai yang sangat besar dalam jumlah miliaran rupiah di turnamen tenis grand slam dunia, marathon, triathlon dan lain-lain sudah saatnya pemerintah membuat rencama utama (master plan) degan cetak biru (blue print) terkait dengan menemukan talenta olahraga di negeri ini.
Beberapa cabang olahraga termasuk sebagai olahraga indoor yang mahal, seperti bulu tangkis, tenis dan renang sehingga pemerintah perlu menyiapkan sarana agar anak-anak bangsa bisa mengasah talentanya.
Tenis dimainkan kalangan berada, tapi tak pernah muncul jagoan. Bulu tangkis dibina perusahaan rokok, eh, malah dihujat dengan berbagai alasan yang justru melenyapkan mimpi anak-anak bangsa. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H