Setiap kali membuat berita tentang tenis saya selalu teringat ke masa kecil di tahun 1960-an nun di sebuah kota sekitar 420 km arah barat daya Kota Medan, Sumut, yang dikenal sebagai Padang 'Kota Salak' Sidimpuan.
Dulu Padangsidimpuan sebagai Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan, tapi seiring dengan pemekaran wilayah Padangsidimpuan jadi kota administratif yang selanjutnya jadi kota madya. Sedangkan Tapanuli Selatan dimekarkan jadi beberapa kabupaten, seperti Mandailing Natal (Madina), Padang Lawas, Padang Lawas Utara dan Tapanuli Selatan sendiri.
Setiap hari kerja lepas jam kantor (alm) ayah saya, HM Syarif Soripada, ketika itu panitera pengganti di PN Padangsidimpuan, selalu membawa saya ke lapangan tenis di sebelah kantornya di bilangan Kebon Kelapa di samping stadion sepak bola yang selanjutnya dijadikan sebagai lahan masjid (Masjid Raya Padangsidimpuan).
Belakangan kantor pengadilan pindah ke lokasi lain, masih di Padangsidimpuan, tapi lapangan tenisnya tidak lagi khusus untuk pegawai. Memang, lapangan tenis itu persis di depan kantor, tapi untuk umum.
Itulah awal mulanya saya memahami cara menghitung nilai atau skor di tenis. Saya sendiri tidak pernah main tenis, tapi bola tenis sering saya bawa pulang sambil menenteng raket dengan merek Dunlop. Di rumah ketika itu ada dua atau tiga raket dengan alat penjepit agar raket tetap rata.
Bola tenis malah dipakai untuk main kasti. Dulu semasa sekolah rakyat (SR), kalau tidak salah sampai saya kelas tiga yang selanjutnya diganti dengan sekolah dasar (SD) yaitu di SDN Padangmatinggi, kasti adalah permainan utama pelajaran olah raga.
Setiap pulang dari main tenis (alm) ayah saya selalu dimarahi ompung perempuan (ibu dari ayah) karena rupanya dia tahu persis pegawai perempuan juga ikut main tenis yang tentu saja pakai rok.
Yang saya ingat lagi adalah sambil menonton ayah dan pegawai main tenis saya disuguhi pecel. Ini bukan makanan daerah saya, tapi makanan penjaga kantor yang merupakan orang Jawa.
Bumbu pecelnya bukan main enaknya. Maka, setiap hari pulang nonton tenis saya selalu membawa bumbu pecel ke rumah. Jangan heran kalau kemudian ada Kampung Jawa di Padangsidimpuan.