Salah satu cara bloger menulis artikel opini yang lolos dari jerat hukum adalah mengikuti alur Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Wartawan pun akan kena jerat jika menulis berita yang melawan hukum, sebaliknya jika sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, maka akan dilindungi oleh UU (Lihat matriks).
Wartaran pun akan dijerat dengan KUHP terkait dengan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan karena hal ini tidak diatur dalam UU Pers.
Secara yuridis UU Pers tidak bisa berdiri sendiri sebagai lex specialis karena harus sepadan yaitu lex specialis derogat lex generalis. Artinya kalau sesuatu diatur oleh beberapa UU, maka dipakai UU yang paling relevan.
Tapi, dalam hal perbuatan yang tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik tidak diatur di UU Pers secara eksplisit, maka berlaku UU lain yang mengatus hal tersebut, yaitu KUHP.
Itu artinya wartawan juga akan dijerat dengan pasal pidana jika menyangkut perbuatan yang melawan hukum yang tidak diatur di UU Pers. Sementara untuk bloger akan dijerat dengan pasal-pasal di UU ITE.
Sejatinya bloger juga memakai pola kerja wartawan yaitu menjalankan self censorship yaitu menimbang apa dampak buruk sebuah berita, laporan, artikel atau opini jika diterbitkan di media massa (cetak, disiarkan di televisi dn radio) serta ditayangkan di media online. Selanjutnya jika berita, laporan, artikel dan opini tidak melawan hukum, maka diserahkan ke asisten redaktur yang selanjutnya mengalir ke redatur, dan seterusnya sampai ada izin untuk dipublikasikan dan disikarkan oleh petinggi di media tersebut.
Sementara itu bagi bloger semua keputusan hanya ada di satu jari sehingga tingkat risiko terjerat hukum sangat tinggi. Sebaiknya, bloger juga memakai paradigm wartawan dalam menguji sebuah konten agar selamat dengan terhindar dari jerat hukum.
Baca juga: Disebut Kritis dan Ekpresif Tapi Hanya Bisa Menyerang Pribadi dengan Fitnah dan Caci-maki
Yang perlu diingatkan untuk bloger adalah UU ITE bukan dunia maya, tapi ada di ranah hukum positif. Soalnya, ada saja warga pembuat konten di media sosial yang tidak peduli terhadap risiko dijerat dengan UU ITE.
Setelah ditangkap karena ada pengaduan, barulah mengku khilaf dan minta maaf. Ini sudah terlambat karena proses hukum jalan terus, apalagi yang bukan delik aduan tentulah penyidikan dan penyidakan terus berjalan sampai vonis hakim di sidang pengadilan.