Ati (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten dr Ati Pramudji Hastuti-pen.) mengatakan, kebanyakan bayi yang tertular HIV dari ibunya, terjadi sejak di dalam kandungan. Hal ini bisa terjadi karena orangtuanya saat hamil sudah positif HIV dan tidak mendapatkan pengobatan (10 Bayi di Banten Positif HIV/AIDS, Tertular dari Ibu - kompas.com, 7/8-2023).
Kalau saja Pemprov Banten, dalam hal ini Dinkes Banten, menjalankan program yang mengharuskan suami dari perempuan hamil menjalani tes HIV tentulah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dicegah.
Tapi, yang terjadi adalah ibu hamil diwajibkan menjalani tes HIV sementara suaminya tidak menjalani tes HIV.
Akibatnya, suami dari ibu hami yang terdeteksi HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Itu artinya perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS kian banyak karena ada laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu.
Di Kab Lebak, Banten, ketika suami diberitahu bahwa istrinya HIV-positif suami itu justru pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Baca juga: AIDS di Lebak, Lagi-lagi Ibu Rumah Tangga yang Jadi Korban
Maka, kalau yang pertama menjalani tes HIV adalah suami dari ibu hamil tentulah hal di atas tidak terjadi karena sudah jelas siapa yang menularkan HIV/AIDS ke si istri.
Dalam berita ini sama sekali tidak ada informasi tentang: mengapa dan bagaiman ibu-ibu itu bisa mengidap HIV/AIDS.
Begitu juga dengan berita yang sama di beberapa media online (tribunnews.com, bantenraya.co.id, idntimes.com, janabarnews.com, tangselife.com, harianumum.com) juga sama sekali tidak ada penjelasan tentang 'mengapa dan bagaimana' ibu-ibu yang menularkan HIV/AIDS ke bayi yang mereka lahirkan bisa tertular HIV/AIDS.
Informasi tentang mengapa dan bagaimana ibu-ibu yang menularkan HIV ke bayi yang mereka lahirkan  tertular HIV/AIDS akan memberikan gambaran tentang penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Masyarakat, dalam hal ini pembaca, tidak mendapat informasi yang akurat tentang penyebab ibu-ibu itu mengidap HIV/AIDS.
Padahal, secara empiris ibu-ibu yang menularkan HIV/AIDS ke bayi yang mereka lahirkan justru tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Studi yang dilakukan Kemenkes (2012) menunjukkan dari 6,7 juta laki-laki pelanggan pekerja seks komersial (PSK) ternyata 4,9 juta di antaranya mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9/4-2013).
Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS karena tertular dari suaminya. Selanjutnya, ketika ibu-ibu itu hamil ada risiko menularkan HIV/AIDS ke bayi yang mereka kandung terutama terjadi pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Selain itu studi di Surabaya, Jatim, juga menunjukkan kebanyak laki-laki pelanggan Waria adalah para suami. Bahkan, para suami itu berperan sebagai 'perempuan' (ditempong atau dianal) ketika melakukan seks anal dengan Waria yang justru jadi 'laki-laki' (menempong atau menganal).
Itu artinya risiko para suami itu tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus kanker serviks dan lain-lain) atau HIV/AIDS jadi besar karena mereka dianal oleh Waria tanpa memakai kondom.
Lagi pula kalau Dinkes Banten hanya menjalankan program tes HIV terhadap ibu hamil, ini hanya langkah di hilir. Artinya, program hanya menjangkau warga, dalam hal ini ibu-ibu hamil, yang sudah tertular HIV/AIDS.
Sejatinya yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko dengan pekerja seks komersial (PSK).
Celakanya, sekarang praktek PSK tidak lagi di lokalisasi pelacuran karena sudah pindah ke media sosial. Transaksi dilakukan dengan HP dengan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Praktek PSK, terutama PSK tidak langsung, tidak bisa lagi diintervensi untuk menerapkan seks aman sehingga insiden infeksi HIV baru terus terjadi.
Laki-laki, sebagian besar yang mempunyai istri, yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Penyebaran ini terjadi tanpa disadari karena laki-laki yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari mereka mengidap HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Penyebaran HIV/AIDS itu bagaikan 'bom waktu' yang kelak jadi 'ledakan AIDS' di Banten. *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI