Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Orang Tua Murid Terpaksa Beli Pakaian Seragam yang Bukan Bagian dari Proses Belajar

29 Juli 2023   10:54 Diperbarui: 31 Januari 2024   13:39 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi -- Seragam sekolah (Sumber: lazada.co.id)

Harga baju seragam SMAN di Jawa Timur (Jatim) jutaan rupiah. Di SMAN Tulungagung harga seragam dipatok Rp 2,3 juta. Sementara seragam di SMPN di Malang Rp 1,3 juta. Ini berita di media (media massa dan media online) di awal tahun ajaran baru 2023.

Melarang murid masuk ke kelas jika tidak pakai seragam merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) karena pendidikan dasar, SD-SMP sederajat atau pendidika 9 tahun, adalah hak yang diatur dalam UU.

Kalau saja kita mendengar apa yang dikatakan oleh (Alm) Prof Dr Fuad Hassan samasa beliau jadi Mendikbud (1985-1988), tentulah orang tua murid tidak akan pusing tujuh keliling mencari uang untuk membeli pakaian seragam anak-anak mereka.

Baca juga: Pakaian Seragam Bukan Bagian dari Proses Belajar di Sekolah Formal

Ketika itu Prof Fuad dengan tegas mengatakan bahwa pakaian seragam dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di kelas pada pendidikan formal.

Itu artinya dengan bertelanjang dada dan kaki ayam sekalipun anak-anak tidak boleh dilarang masuk ke kelas untuk belajar karena belajar adalah hak.

Celakanya, di Indonesia justru disebut 'wajib belajar' padahal secara empris yang benar adalah 'hak belajar' yaitu pendidikan dasar selama Sembilan tahun, dalam hal ini dari SD sampai SMP sederajat.

Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang gratis ini sifatnya universal sehingga yang wajib adalah negara, dalam hal ini pemerintah, menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar bagi anak-anak.

Sekarang anak sekolah mulai dari PAUD, TK, SMP/Madrasah, SMP/Tsanawiyah, dan SMA/Aliyah diwajibkan memakai pakaian seragam yang berganti setiap hari sekolah. Itu artinya orang tua harus membeli lima pasang pakaian untuk anak-anaknya.

Andaikan harga rata-rata pakaian seragam Rp 150.000, maka orang tua harus menyediakan uang Rp 750.000 hanya untuk pakain seragam. Ini belum termasuk sepatu dan pernik-pernik lain.

Bagi orang tua yang berada tentu saja tidak jadi masalah, tapi bagi sebagian besar warga justru jadi masalah besar.

Di saat kemiskinan masih mencengkeram sebagian warga, bahkan ada yang berada di bawah garis kemiskinan ekstrem, mereka justru dihadapkan dengan beban berat untuk membeli seragam anak-anak mereka.

Kondisinya kian runyam karena anak-anak sekolah yang tidak memakai seragam tidak bisa masuk ke lingkungan sekolah. Mereka justru ditolak untuk memperoleh hak mereka yaitu pendidikan dasar.

Ilustrasi. (Sumber: blogpendidikan.net)
Ilustrasi. (Sumber: blogpendidikan.net)
Hal itu jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap HAM. Secara universal ketika seorang anak lahir, maka otomatis dia berhak mendapatkan identitas (akte lahir dan selanjutnya kartu tandap penduduk/KTP setelah cukup umur), imunisasi dasar, dan pendidikan dasar sembilan tahun (SD-SMP sederajat.

Kalau saja pemerintah lebih arif dan bijaksana terkait dengan kewajiban memakai pakain seragam, maka beban warga miskin, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan dan kemiskinan ekstrem, bikinlah aturan yang tidak memberatkan orang tua murid.

Misalnya, tidak mewajibkan seragam. Maka, beban orang tua akan berkurang. Ketika orang tua membeli baju baru untuk Lebaran dan Natal pakaian itu bisa jadi pakaian untuk ke sekolah sehingga tidak perlu lagi membeli pakaian seragam.

Agaknya, pemerintah hanya terpaku pada angka statistic, seperti yang disebutkan oleh Bank Indonesia (BI) ini: Indonesia telah kembali menjadi negara berpenghasilan menengah atas. Masuknya Indonesia dalam kategori berpendapatan menengah atas karena ekonominya tumbuh kuat sebesar 5,3% pada 2022 sehingga gross national income atau GNI per kapita Indonesia naik 9,83% pada tahun lalu (indonesiabaik.id, 11/7-2023).

Sudah saatnya pemerintah melihat realitas sosial di social settings terkait dengan kondisi ekonomi warganya, tidak semata-mata hanya berpijak pada angka-angka statistik. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun