"Presiden SBY: Pembangunan Rumah Sakit Meningkat 600 Persen" Ini judul berita di news.detik.com, 14/7-2014.
Pernyataan presiden itu memberikan gambaran nyata terkait dengan peningkatan jumlah warga atau penduduk negeri ini yang memerlukan rumah sakit (baca: berobat jalan dan  dirawat untuk pengobatan dan tindakan medis).
Dengan pertambahan rumah sakit (RS) sebesar 600 persen menunjukkan kian banyak tempat tidur dan kamar perawatan yang dibutuhkan untuk merawat warga yang sakit.
Bayangkan, menurut Presiden SBY, selama hampir 10 tahun masa pemerintahannya RS bertambah 837 (meningkat lebih dari 600 persen), Puskesmas bertambah 1.960 (meningkat 600 persen) dan apotek 1.056 (meningkat 400 persen). Jumlah dokter tercatat 76.523 dokter (meningkat 200 persen) (nasional.news.viva.co.id, 14/7-2014).
RS Tipe C menimal mempunyai 100 tempat tidur, Tipe B 200 dan Tipe A 250. Sayang, SBY tidak merinci kelas atau tipe 837 RS yang dia bangun. Wartawan juga tidak bertanya. Jika dipukul rata, maka ada sekitar 150.000-an tempat tidur.
Angka ini terkait dengan jumlah warga yang memerlukan tempat tidur untuk dirawat karena berbagai macam penyakit.
Sejatinya instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada periode pemerintah Presiden SBY meneliti mengapa dan bagaimana sampai bisa terjadi kian banyak warga yang membutuhkan pengobatan dan perawatan.
Dengan data itu yang dilakukan adalah mencegah agar warga yang membutuhkan perawatan tidak terus-menerus bertambah. Artinya, dari hulu ada langkah-langkah konkret yang dijalankan berupa program untuk menurunkan penyakit pada warga.
Di RSUD Budhi Asih, Jakarta Timur, misalnya, setiap hari bisa 500 pasien berobat jalan. Memang, tidak semua pasien baru. Tapi, tidak sedikit yang jadi pasien di beberapa poli. Ini menunjukkan beragam penyakit diderita pasien.
Celakanya, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun yang terjadi juga peresmian rumah sakit. Bahkan, Presiden Jokowi meminta dibangun RS Jantung dan Kanker di Riau dengan alasan agar warga Riau tidak berobat ke luar negeri (forumterkininews.id, 5/1-2023).
Padahal, dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, 28/2-2017, Presiden Jokowi meminta, jangan sampai bangga Puskesmas atau rumah sakit kalau pasiennya banyak. Ia mengingatkan, semakin banyak orang sakit masuk Puskesmas, semakin banyak orang sakit masuk ke rumah sakit, artinya kita gagal menyelesaikan bidang kesehatan (setkab.go.id, 28/2-2017).
Tapi, mengapa yang terjadi lagi-lagi hanya peresmian dan membangun RS, bukan mengatasi penyebab penyakit agar tidak banyak warga yang sakit?
Di masa Orde Baru (Orba) dibangun pusat-pusat kesehatan masyarakat, dikenal luas sebagai Puskesmas, di semua penjuru Tanah Air sebagai ujung tombak promosi (promotif) kesehatan yaitu mendorong perubahan perilaku masyarakat agar hidup sehat melalui pencegahan penyakit (preventif).
Tapi, yang terjadi kumudian Puskesmas justru diubah jadi pusat pengobatan (kuratif) seperti layaknya rumah sakit. Bahkan, ada Puskesmas yang ditingkatkan statusnya dengan melengkapi fasilitas rawat inap yang tidak beda lagi dengan RS.
Pada tahun 2014 Pemprov DKI mempunyai 15 Puskesmas dengan fasilitas rawat inap yang tergolong RS Tipe D dengan tempat tidur minimal 40. Disebutkan tahun 2014 Pemprov DKI menambah 10 lagi Puskesmas yang dijadikan RS (kompas.com, 4/2-2014).
Dalam wawancara dengan pakar kesehatan masyarakat UI, Prof Dr Ascobat Gani, MPH, Dr PH, disebutkan bahwa Puskesmas bukan sebagai tempat berobat, tapi sebagai ujung tombak mendidik masyarakat agar hidup dengan perilaku yang terhindar dari penyakit.
Ketika Puskesmas jadi tempat berobat dengan rawat inap, dokter dan tenaga medis di Puskesmas tidak punya waktu lagi untuk kegiatan sosialisasi hidup sehat ke masyarakat.
Malaysia jauh lebih arif dan bijaksana yaitu melakukan tes terhadap bayi yang baru lahir sehingga bisa diketahui risiko penyakit yang ada pada bayi itu. Ini jadi pegangan dalam mengasuh dan membesarkan anak agar kelak tidak jadi beban pemerintah dengan berbagai macam penyakit yang sebenarnya bisa ditangani sejak bayi.
Terutama risiko bayi dengan penyakit langka yaitu beberapa jenis penyakit yang penderitanya sedikit tapi jadi masalah besar karena membutuhkan biaya dan penanganan. Bahkan, BPJS Kesehatan tidak menanggung sebagian obat yang dibutuhkan penderita penyakit langka.
Baca juga: Anak-anak dengan Penyakit Langka: "Anak Saya Bukan Alien ...."
Dengan cara yang dilakukan Malaysia bisa diketahui penyakit-penyakit, termasuk penyakit langka, pada bayi sehingga jadi data bagi penanganan kesehatan.
Paling tidak Puskesmas bisa mendeteksi penyakit bawaan pada bayi sehingga kelak jadi pegangan orang tua dan Puskesmas dalam menangani anak tersebut sampai dewasa.
Penyakit-penyakit degeneratif bisa ditekan agar tidak muncul di masa remaja dan dewasa. Misalnya, dengan informasi tentang penyakit-penyakit yang diderita orang tua atau keluarga ayah dan ibu.
Laporan DW (Deutsche Welle), 21/7-2023, misalnya, menunjukkan tahun 2020 Indonesia ada di peringkat ke-6 dunia dalam jumlah kasus kanker payudara (65.885) dengan 22.430 kematian.
Sementara itu Indonesia ada di peringkat ke-2 dunia dalam jumlah kasus TBC dengan jumlah 969.000, sedangkan ada 400.000 kasus yang tidak terdeteksi (VOA, 18/7-2023). Penyakit-penyakit lain juga banyak kasusnya di Indonesia. Sebut saja HIV/AIDS, hepatitis B, kanker serviks dan lain-lain.
Tanpa ada pencegahan di hulu, antara lain dengan meningkatkan peran serta masyarakat, maka penyakit-penyakit yang diderita warga akan jadi beban pemerintah dan menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) negeri ini.
Tentu saja langkah-langkah konkret untuk mengatasi penyakit bisa dilakukan oleh dokter di Puskesmas jika Puskesmas tidak jadi tempat berobat (kuratif). (dari berbagai sumber). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H