"Palembang ajak tokoh masyarakat cegah HIV/AIDS" Ini judul berita di sumsel.antaranews.com (8/7-2023).
Langkah Pemkot Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) itu patut dipertanyakan karena penularan HIV/AIDS terjadi karena perilaku seksual dan nonseksual orang per orang yang berisiko di ranah privat.
Itu artinya tokoh masyarakat dan tokoh agama bergerak hanya sebatas orasi di ranah moral. Jangankan tokoh masyarakat dan tokoh agama, negara dalam hal ini pemrintahpun tidak bisa masuk ke ranah privat, kecuali terkait dengan tindak pidana, karena hal itu merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Jika hanya mengandalkan orasi hasilnya sudah bisa diperhitungkan yaitu nol besar (big nothing) karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialiasikan sejak 36 tahun yang lalu, yaitu awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang diakui pemerintah tahun 1987 sedangkan epidemi global sudah diakui dunia pada tahun 1981, dibumbui dengan moral dan agama yang mengaburkan fakta medis tentang HIV/AIDS sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Baca juga: Kasus HIV/AIDS pada Remaja Akibat Materi KIE HIV/AIDS yang Hanya Mitos
Misalnya, mengait-ngaitkan seks sebelum nikah, zina, selingkuh, melacur, seks menyimpang dan lain-lain dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks sebelum nikah, zina, selingkuh, melacur, seks menyimpang), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis!
Maka, kalau tokoh masyarakat dan tokoh agama hanya menyampaikan orasi HIV/AIDS dengan balutan moran dan agama, maka hasilnya nol besar seperti yang sudah terjadi selama 39 tahun belakangan ini.
Dalam berita Kasubag Kesejahteraan Sosial Bagian Kesra, Setda Kota Palembang, Ahmad Arifin, mengatakan: "Dalam menanggungulangi HIV/AIDS, Pemkot Palembang mengajak para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk berperan aktif dalam meminimalisir penularan HIV/AIDS, penyakit yang dianggap berbahaya ini." Â
Perlu diluruskan HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus yang tergolong retrorivirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri. Di tubuh manusia yang terinfeksi HIV, virus ini menggandakan diri di sel-sel darah putih dengan menjadikannya sebagai 'pabrik' sehingga sel darah putih tersebut rusak.
Selanjutnya virus yang baru mencari sel darah putih lain dan menjadikannya sebagai pabrik. Begitu seterusnya sehingga sampai pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obar antiretroviral/ART).
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui perilaku seksual dan nonseksual berisiko, yaitu:
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
(2) Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
(3) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsug, PSK tidak langsung dan cewek atau perempuan pelaku prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
(4) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
(5) Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
Perilaku nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
(6) Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan bergiliran pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik, karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV bisa masuk ke jarum dan tabung,
(7) Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV.
Pertanyaan untuk Ahmad: Bagaimana tokoh masyarakat dan tokoh agama melarang warga melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas?
Tentu saja tidak bisa. Maka, yang perlu dilakukan adalah menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui perilaku seksual berisiko. Ini yang disebut sebagai pencegahan di hulu.
Pemkot Palembang sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No. 16 Tahun 2007 tentang Pecegahan, Pengendalian dan Penanggulangan HIV dan AIDS, tapi tidak ada cara-cara pencegahan HIV yang akurat.
Baca juga: Menyoal Kiprah Perda AIDS Kota Palembang
Sementara itu di banyak daerah pencegahan hanya berkutat di hilir yaitu tes HIV dan pengobatan dengan obat antiretroviral (ART). Ini tidak akan mengatasi masalah karena insiden infeksi HIV di hulu terus terjadi.
Disebutkan pula oleh Ahmad: .... penyebaran penyakit tersebut belum sepenuhnya terungkap, karena masyarakat cenderung menjaga kerahasiaan kondisi mereka. Â
Pernyataan ini tidak akurat karena semua orang yang sudah terdereksi HIV-positif ada datanya di Puskesmas, RSUD, Dinkes dan KPA karena mereka terikat dengan perjanjian sebelum tes HIV dan kemudahan memperoleh obat dan pengobatan.
Yang jadi masalah besar adalah warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi karena mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menunjukkan gejala-gejala, ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menalani ART).
Maka, yang perlu dilakukan Pemkot Palembang adalah membuat program yang tidak melawan hukum dan melanggar HAM untuk mencari warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.
Jika tidak ada penanggulangan yang konkret di hulu dan tidak ada langkah mencari warga pengidap HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Palembang akan terus terjadi. Ini bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Kota Palembang. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H