Warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari diri mereka mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan (secara statistik masa AIDS terjadi setelah 5-15 tahun tertular jika tidak menjalani program pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS priode 2020-2022 pada rentang usia 15-24 tahun sebanyak 51. Dengan data ini dr Margaretha mengatakan: .... kita harus fokus pada bagaimana pencegahan HIV-AIDS anak usia remaja ....
Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis
Agaknya, dr Margaretha mengabaikan kasus HIV/AIDS pada laki-laki beristri dengan indikator kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.
Secara empiris kasus HIV/AIDS pada remaja ada di terminal terakhir epidemi karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap (baca: istri atau suami). Sementara itu kasus HIV/AIDS pada suami justru jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ke istrinya dan pasangan seks lain. Bahkan, ada laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu.
Kasus HIV/AIDS pada remaja dan dewasa muda (15-40 tahun) adalah hal yang realistis karena pada rentang usia ini hasrat seksual sangat tinggi. Libido seks tidak bisa diganti atau disubsitusi dengan kegiatan lain di luar seksual.
Baca juga: Kasus HIV/AIDS pada Remaja Akibat Materi KIE HIV/AIDS yang Hanya Mitos
Celakanya, mereka menyalurkannya dengan pengetahuan yang minim tentang cara-cara penularan dan pencegahan IMS (seperti sifilis, GO, dan lain-lain) dan HIV/AIDS.
Mengapa? Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapa yang salah).