Kasus HIV/AIDS di Ambon Meningkat, Jangan Anggap Remeh! Ini Gejala dan Faktor Utamanya. InI judul berita di ambon.tribunnews.com (20/6-2023).
Jika yang dipakai patokan adalah angka atau jumlah kasus, maka secara empiris angka kasus akan terus bertambah (meningkat) karena di Indonesia pelaporan kasus HIV/AIDS dilakukan secara kumulatif. Jumlah kasus lama ditambah kasus baru dan angka kematian tidak dikeluarkan dari data.
Maka, yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus baru dengan kurun waktu tertentu, misalnya, per bulan atau per triwulan.
Dengan melihat angka-angka kasus baru wartawan bisa menulis berita dengan fakta dan realitas sosial yaitu faktor-faktor penyebab jumlah kasus baru bertambah atau berkurang.
Disebutkan dalam berita jumlah kasus bertambah, seperti dikatakan oleh Kepala Dinkes Ambon, Maluku, Wendy Pelupessy, lantaran pihaknya gencar melakukan tes kepada masyarakat.
Ada yang perlu dikoreksi di sini yaitu tes HIV tidak perlu dilakukan kepada semua orang (masyarakat) karena tidak semua warga (penduduk) pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Jika tes HIV dilakukan kepada setiap orang bisa mendorong stigmatisasi dan diskriminas kelak kalau ada di antara warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Maka, perlu ada konseling terutama terhadap suami ibu-ibu yang hamil untuk mengetahui perilaku seksual mereka. Jika hasil konseling menunjukkan suami pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS selanjutnya dianjurkan menjalani tes HIV.
Kalau hasil tes HIV menunjukkan suami HIV-positif, maka istri yang hamil jalani tes HIV. Hasil tes HIV istri akan jadi pintu masuk untuk menjalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Selain itu perlu diingat bahwa tes HIV yang dilakukan Dinkes Ambon itu adalah langkah di hilir.
Padahal, dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS yang perlu dilakukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Dinkes Ambon boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan di Kota Ambon tidak ada pelacuran. Secara de jure itu benar karena sejak reformasi semua tempat-tempat pelacuran ditutup.
Tapi, apakah secara de facto Dinkes Ambon bisa menjamin tidak ada praktek pelacuran, terutama yang melibatkan PSK tidak langsung?
Tentu saja tidak bisa. Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki akan terus terjadi yang selanjutnya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan kasus yang terdeteksi tidak menggambar kasus yang sebenarnya. Pertanyaanya: Apa langkah konkret Dinkes Ambon untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi?
Dalam berita disebut: HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga daya tubuh semakin melemah dan rentan diserang berbagai penyakit.
Pernyataan ini keliru karena HIV tidak menyerang sistem kekebalan tubuh. HIV menjadikan sel-sel darah putih sebagai 'pabrik' untuk menggandakan diri sehingga sel-sel darah itu tersebut rusak. HIV yang baru kemudian mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya.
Disebutkan pula: HIV merupakan virus yang tergolong sangat mematikan. Ini juga tidak akurat karena tidak ada kasus kematian karena HIV. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi karena infeksi oportunistik, seperti diare, TBC dan lain-lain.
Disebutkan: Faktor Utama Resiko Penularan HIV/ AIDS: Sering berganti pasangan. Ini tidak akurat karena kalau satu pasangan yang berganti-ganti HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV/AIDS. Begitu juga jika laki-laki selalu memakai kondom, maka risiko penularan HIV bisa dihindarkan.
Berganti-ganti pasangan seks tanpa kondom merupakan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS.
Disebutkan pula Faktor Utama Resiko Penularan HIV/ AIDS: Melakukan hubungan seksual yang beresiko baik homoseksual maupun heteroseksual. Sayangnya, tidak ada penjelasan tentang seperti apa hubungan seksual yang beresiko itu.
Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Terkait dengan gejala HIV/AIDS yang disebutkan dalam berita, ada fakta yang luput yaitu gejala-gejala itu hanya bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS jika yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Ketika seseorang mengalami gejala yang disebut sebagai gejala HIV/AIDS tapi tidak pernah melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, maka gejala itu sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS.
Dalam berita disebutkan Pencegahan HIV/ AIDS dengan cara - A: Abstinence atau tidak melakukan hubungan Seks.
Hasrat melakukan hubungan seksual adalah hak dan merupakan anugerah sehingga tidak ada komptensi untuk melarang seseorang melakukan hubungan seksual.
Jika dikaitkan dengan HIV/AIDS, maka bukan melarang melakukan hubungan seksual, tapi tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Ini fakta! *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H