Sebagai kota tujuan utama para penglaju (commuter) Â dari kota-kota satelit bikin Jakarta jadi sumpek karena kepadatan kendaraan bermotor dan kerumuman warga.
Di usia yang ke-496 beban Jakarta kian berat sehingga perlu langkah-langkah yang strategis tapi konkret untuk menyelamatkan Ibu Kota dari kehancuran ekologi.
Sebagai kota yang jadi tujuan membuat kemacetan jadi bagian dari kehidupan warga Jakarta sehari-hari karena diperkirkan18 juta kendaraan bermotor lalu-lalang dan melintasi wilayah Jakarta.
Tapi, sebagian besar pengguna kendaraan bermotor itu adalah penglaju karena warga Ibu Kota sudah terbiasa dengan angkutan umum, seperti bus Transjakarta, angkutan permukiman JakLingko dan angkutan massal KRL (kereta rel listik), MRT (mass rapid transit-Moda Raya Terpadu di bawah permukaan tanah) dan sebentar lain LRT (light rail transit-lintas rel terpalu di atas permukaan tanah/layang).
Akibat serbuan kendaraan penglaju bikin polusi udara juga tak terelakkan yang akhirnya menyengat kehidupan warga Jakarta karena ada risiko penyakit jika menghirup udara yang terkontaminasi dengan gas-gas buangan berbahaya, seperti gas buangan kendaraan bermotor.
Kondisinya kian runyam karena luas ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta per Maret 2023 dilaporkan hanya 33,33 juta meter persegi atau 33,33 kilometer persegi. Luas ini hanya  5,18 persen dari luas Jakarta yang mencapai 664,01 kilometer persegi.
Padahal, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diamanatkan luas RTH miminal 30% dari luas wilayah, dalam hal ini DKI Jakarta.
Secara ekologis RTH berfungsi sebagai paru-paru bagi Jakarta sebagai kota metropolitan. Tanaman pada RTH berguna sebagai media untuk menyerap gas karbondioksida (CO2) yang akhirnya menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Selain itu RTH juga bisa menurunkan suhu udara perkotaan dan suasana permukiman jadi sejuk.
RTH sebagai area publik dibangun sebagai taman kota, hutan kota, taman pemakaman umum, serta jalur hijau di tepi jalan raya dan aliran sungai. Â