Akhirnya resepsionis meminta paspor Mr X, "Oh My God," kata resepsionis itu dengan mata terbelalak sambil menyeka jidatnya.
Rupanya, di paspor tertulis namanya: X dengan gelar sarjana (SSos). Ketika resepsionis mengetikkan SSos baru muncul nama X.
"Harahap," kata saya ketika tiba giliran. Resepsionis langsung memberikan kunci kamar.
Rupanya, di luar negeri dalam data pribadi nama belakang atau family name atau bin/binti yang disebutkan duluan.
Maka, beberapa tahun lalu sering terjadi visa calon jemaah haji jadi masalah karena nama yang dimasukkan hanya satu kata. Diperlukan minimal dua kata yaitu nama depan atau nama pemberian dan nama marga. Jika tidak ada marga (family name) maka pakai bin atau binti.
Di Bali dan Batam sikap sebagian resepsionis berbeda ketika melayani tamu antara penduduk Indonesia dan warga asing, seperti bule di Bali, serta WN Malaysia dan WN Singapura di Batam.
Resepsionis yang jelas penduduk Indonesia, tapi melakukan diskriminasi terhadap bangsanya sendiri. Padahal, sama-sama membayar tarif yang sama. Bahkan, dulu di Batam sebagian hanya mau menerima dolar Singapura dan ringgit Malaysia. Ini juga bangsa sendiri merendahkan harkat dan martabat bangsanya.
Menulis artikel tentang pengalaman terkait dengan pelayanan hotel merupakan kegiatan hotelier writers sebagai kontrol sosial dengan informasi yang akurat dan objektif.
"Dari kamar berapa," tanya karyawan di restoran di sebuah hotel bintang 4 di Denpasar, Bali, tahun 2000-an. Ketika disebutkan nomor kamar, karyawan itu pun menyilakan dengan mengulurkan tangan tanpa ekspresi yang menyenangkan.
Tapi, ketika ada bule yang datang langsung diantar ke meja dan ditawari teh atau kopi. Padahal, bule itu hanya pakai celana pendek dan kaos oblong, sementara saya dengan pakaian rapi. Bayar harga kamar sama tapi perlakuan dibedakan berdasarkan ras. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H