"Kami tidak menyediakan kamar dengan connecting door, Pak," kata resepsionis sebuah hotel berbintang 4 di Gorontalo di awal tahun 2000-an.
Hal yang serupa juga saya alami di Aceh, "Itu sumber maksiat, Pak," ujar resepsionis itu sambil buang muka memberikan alasan mengapa tidak ada kamar dengan connecting door (pintu penghubung) antara dua kamar yang bersebelahan. Ini juga di tahun 2000-an.
Selain berlibur dengan keluarga dengan membawa anak-anak kamar dengan connecting door perlu juga bagi kegiatan bisnis atau kegiatan lain untuk memudahkan komunikasi.
Soal terjadi kemaksiatan tidak semata-mata ditentukan oleh connecting door karena di lain kamar dengan lantai yang berbeda bahkan berbeda hotel bisa saja terjadi maksiat.
Yang agak merisaukan adalah air muka resepsionis ketika ditanya soal connecting door sudah berubah dan menatap dengan curiga. Tentu saja ada sesuatu dalam pikiran mereka tentang keperluan memesan kamar dengan connecting door. Padahal, yang ada dalam pikiran mereka tidak sepenuhnya benar. Bisa saja kamar dengan connecting door diperlukan karena bawa anak-anak atau bawa staf perusahaan dan sebagainya.
Dalam beberapa kejadian resepsionis sebagai frontliner di hotel terkadang tidak luwes. Misalnya, ketika saya check-in dengan kamar yang sudah dipesan oleh pihak yang mengundang resepsionis masih meminta jaminan, seperti kartu kredit. Ini terjadi di sebuah hotel bintang 4 di Serang, Banten, tahun 2000-an.
Hal itu jelas tidak menyenangkan bagi tamu dan bikin tidak nyaman. Hal itu sama saja dengan mengabaikan hospitality (keramahan). Sejatinya resepsionis menghubungi manajer yang tugas yang selanjutnya mengontak pemesan kamar bukan membebankan jaminan kepada tamu yang sudah mendapatkan pesanan kamar.
Tawarkan Kondom
Begitu juga dengan fasilitas yang disediakan sebaiknya hotel bicara dengan yang memesan kamar bukan dengan yang dipesankan kamar (baca: tamu).