Tidak ada kaitan langsung antara perbuatan dosa dan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS bisa terjadi di dalam dan di luar nikah
"Namun yang terpenting adalah masing-masing orang menjaga perilaku untuk tidak melakukan seks bebas, tidak melakukan perselingkuhan, sebab di luar pasangan sah yang sudah menikah adalah perbuatan dosa dan berpotensi besar penularan virus HIV-AIDS." Ini ada dalam berita "Data Terkini Penderita HIV-AIDS di Merauke Capai 116 Kasus" di infopublik.id (8/11-2022).
Ini contoh pernyataan yang tidak akurat sehingga menyuburkan mitos dan mendorong stigma (pemberian cap negatif) serta diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap warga pengidap HIV/AIDS.
Pertama, seks bebas dan perselingkuhan adalah sifat hubungan seksual, padahal risiko tertular HIV/AID melalui hubungan seksual karena kondisi saat terjadi kondisi ketika hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AID dan laki-laki tidak pakai kondom (Lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).
Disebutkan: .... di luar pasangan sah yang sudah menikah adalah perbuatan dosa dan berpotensi besar penularan virus HIV-AIDS.
Pernyataan ini merupakan kontra produktif yang merusak program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Tidak ada kaitan dosa dengan penularan HIV/AIDS karena HIV/AIDS menular bukan karena perbuatan dosa semata, tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang berisiko yaitu tidak diketahui status HIV pasangan seksual dan laki-laki tidak pakai kondom.
Disebutkan dalam berita: Secara umum informasi kasus AIDS di Kabupaten Merauke sejak 1992 sampai Juni 2022 telah mencapai 2.664. Data terbaru belum dikeluarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke untuk Januari-Oktober 2022.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat matriks).
Maka, Pemkab Merauke, Papua, perlu membuat regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), untuk mencari warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Soalnya, warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ada lagi pernyataan: Menurutnya (Kepala Klinik Reproduksi RSUD Merauke, dr. Inge-pen.), kasus HIV terbanyak terjadi di kalangan masyarakat. Sayangnya, kesadaran masyarakat dalam melakukan pemeriksaan HIV masih sangat minim, meski sosialisasi terus dilakukan petugas.
Persoalan yang sangat mendasar adalah informasi HIV/AIDS yang dikemas dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang muncul dan sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Contoh yang sangat faktual yaitu informasi dalam berita ini yang mengait-ngaitkan seks bebas dan dosa dengan penularan HIV/AIDS.
Banyak orang yang merasa perilakunya tidak terkait dengan dosa sehingga mereka menganggap tidak ada kaitannya dengan penularan HIV/AIDS. Misalnya, orang-orang yang sering kawin-cerai secara sah, menikah di bawah tangan atau kawin kontrak. Ini jelas tidak merupakan perbutan dosa karena ada ikatan sehingga mereka merasa tidak berisiko.
Padahal, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah. Tapi, seperti informasi dalam berita ini penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dikaitkan dengan dosa.
Selain itu informasi tentang tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri HIV/AIDS yang diumbar media massa dan media online tidak akurat karena tidak menyebut prakondisi yang bisa menyebabkan terjadi penularan HIV/AIDS.
Informasi itu bukin celaka karena orang-orang yang tidak mengalami tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri yang terkait dengan HIV/AIDS merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS biarpun perilaku seksual mereka berisiko.
Kalau saja materi KIE tentang HIV/AIDS akurat berpijak pada fakta medis, maka yang disampaikan adalah cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS berpijak pada fakta medis bukan mengumbar moral yang dikaitkan dengan HIV/AIDS.
Peraturan daerah (Perda) AIDS Merauke juga tidak bisa diandalkan karena hanya menyasar pekerja seks komersial (PSK) yaitu memenjarakan PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual), seperti sifilis dan GO.
Baca juga:Â Perda AIDS Merauke (Hanya) 'Menembak' PSKÂ
Persoalannya adalah:
Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV/AIDS ke PSK adalah laki-laki warga Merauke. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini ada yang punya istri sehingga ada risiko penularan ke istrinya atau pasangan seks lain.
Kedua, biar pun PSK pengidap IMS itu dikurung di penjara, sudah ada laki-laki warga Merauke yang tertular IMS, bahkan bisa jadi sekaligus dengan HIV/AIDS. Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS melalui laki-laki yang tertular IMS dan HIV/AIDS dari PSK yang dikurung itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS Thailand dan tidak diikuti secara konsisten.
Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand
Tujuan program 'wajib kondom 100 persen' di Thailand adalah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Soalnya, banyak laki-laki yang menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Maka, pemerintah Thailand memberikan izin usaha kepada germo atau mucikari yang mengelola tempat pelacuran dan rumah bordir dengan syarat mereka harus memaksa laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK yang jadi pekerja di tempat pelacuran atau rumah bordir.
Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka yang diberikan sanksi bukan PSK, seperti yang terjadi di Merauke, tapi kepada pemegang izin usaha yaitu germo, mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Tentu saja germo tidak mau izin usahanya dicabut sehingga menerapkan program 'wajib kondom 100 persen' kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK anak buahnya.
Program tersebut berbuah manis untuk Thailand yang dibuktikan dengan indikator penurunan jumah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap IMS dan HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H