Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suami 127 IRT Pengidap HIV/AIDS di Flores Timur NTT Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS

24 Oktober 2022   00:07 Diperbarui: 24 Oktober 2022   00:17 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: amarujala.com)

127 suami dari 127 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena mereka tidak jalani tes HIV

"Ada 127 IRT di Flotim telah tertular HIV/AIDS," katanya (Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Flores Timur, Emanuel Halan-pen.) kepada wartawan belum lama ini. Ini ada dalam berita "127 Ibu Rumah Tangga dan 3 Polisi di Flores Timur Tertular HIV AIDS" di flores.tribunnews.com (9/9-2022).

Judul berita ini menempatkan ibu rumah tangga sebagai objek dan jadi sasaran stigma. Kalau saja media yang menerbitkan berita ini lebih memahami perspektif gender, maka judulnya akan lebih adil jika disebut: "127 Suami di Flotim Tularkan HIV/AIDS kepada Istrinya."

Selanjutnya, pertanyaan yang sangat mendasar untuk KPA Flotim: Apakah suami 127 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka itu artinya KPA Flotim membiarkan 127 laki-laki tersebut jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (lihat matriks).

Matriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui 127 Suami di Flores Timur, NTT. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui 127 Suami di Flores Timur, NTT. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Kemungkinan bagi 127 suami yang menularkan HIV/AIDS ke istrinya ada yang punya istri lain, pacar atau selingkuhan. Ada pula yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) dan waria. Selain itu bisa jadi ada pula biseksual sehingga menjalani seks dengan LSL.

Selanjutnya jika ada PSK dan Waria yang tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke laki-laki pelanggan PSK dan Waria.

Seterusnya jika ada laki-laki pelanggan PSK dan Waria tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke istri mereka yang kelak bermuara pada bayi yang mereka lahirkan.

Celakanya, penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan 127 suami itu tidak bisa diintervensi karena selain tidak ada payung hukum juga transaksi seks melalui ponsel dan eksukusi seks terjadi di ranah privasi.

Kalau saja suami 127 ibu rumah tangga pengidap HIV/AIDS tersebut jalani tes HIV, maka mereka akan menerima konseling sebelum dan sesudah tes serta pengobatan dengan obat antiretroviral (ART).

Selain itu mereka akan diminta membuat pernyataan bahwa jika mereka terdeteksi HIV-positif mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari diri mereka.

Sayangnya, dalam berita tidak ada penjelasan tentang faktor risiko penularan HIV/AIDS terkait dengan 425 kasus HIV/AIDS di Flotim. Faktor risiko ini jadi penting untuk menggambarkan perilaku seksual warga, kecuali ibu rumah tangga, yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tersebut.

Dalam berita ada pernyataan: Menurut Emanuel, persoalan HIV dan AIDS menjadi pekerjaan serius lebih khusus dalam upaya menyadarkan masyarakat agar mau diperiksa.

Ini jelas ngawur karena tidak semua orang di masyarakat yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.

Untuk apa masyarakat diperiksa jika tidak semua orang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS?

Yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV, bukan diperiksa karena kata diperiksa konotatif bisa diasosiasikan dengan polisi, adalah warga yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS di bawah ini:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom. 

Pertanyaan lagi untuk KPA Flotim: Apakah KPA Flotim bisa menjangkau warga yang melakukan perilaku berisiko di atas?

Tentu saja tidak bisa. Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis mengalami tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala terkait HIV/AIDS sehingga mereka tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV/AIDS.

Akibatnya kasus HIV/AIDS di Flotim bagiakan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang dilaporkan (425) tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Matriks: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Maka, yang perlu dilakukan KPA Flotim adalah mencari warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Ini bisa dilakukan dengan payung hukum, seperti peraturan daerah (Perda).

Selama ada warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi dan tidak ada intervensi terkait dengan perilaku seksual berisiko, maka penyebaran HIV/AIDS di Flotim ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun