Infeksi HIV baru terjadi pada laki-laki dewasa lajang dan beristri, bagaiman cara istri mencegah suaminya melakukan perilaku seksual berisiko?
"Dari Fenomena tersebut (kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga-pen), Ketua Forum Warga Peduli AIDS (WPA) Kota Bandung, Yunimar Yana Mulyana mengatakan untuk menekan bertambahnya angka Orang dengan HIV AIDS (ODHA), pihaknya gencar melakukan Bina Wilayah kepada kader WPA kecamatan dan edukasi lainnya. Termasuk melalui media sosial." Ini ada dalam berita "Tekan Kasus ODHA, Forum WPA Kota Bandung Gencar Bina Wilayah" di bandung.go.id (18/10-2022).
Agaknya, yang jadi sasaran bina wilayah terkait dengan fenomena itu adalah wanita, dalam hal ini ibu rumah tangga.
Itu artinya lagi-lagi perempuan yang jadi objek. Padahal, persoalan terkait dengan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga ada pada laki-laki (suami) sehingga yang perlu dibina adalah para suami bukan ibu rumah tangga.
Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah seorang istri bisa mengingatkan suaminya agat tidak melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS?
Tentu saja tidak bisa. Bahkan, bisa-bisa istri yang berani menegur suami terkait perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS akan jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ada survei di layanan kesehatan (Yankes) yang menunjukkan suami akan marah besar bahkan memukul istrinya ketika diberitahu bahwa istrinya terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara pengidap IMS ke orang lain dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, virus kanker serviks, trikomona, herpes genitalis, dan kutil kelamin).
Sedangkan di Lebak, Banten, ketika seorang suami diberitahu istrinya yang baru melahirkan terdeteksi HIV-positif, si suami akan kabur meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Baca juga: AIDS di Lebak, Lagi-lagi Ibu Rumah Tangga yang Jadi Korban
Bertolak dari fakta di atas adalah langkah yang tidak efektif menjadikan ibu rumah tangga sebagai objek penyuluhan atau sosialisasi HIV/AIDS terkait dengan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.
Relasi antara suami dan istri di rumah tangga tidak seimbang karena suami berada pada posisi powerfull (berdaya) dan voicefull (didengar), sedangkan istri di posisi powerless (tidak berdaya) dan voiceless (tidak didengar).
Kondisinya kian runyam karena peremuan, dalam hal ini ibu rumah tangga atau istri, diposisikan sebagai subordinat dari laki-laki atau suami.
Maka, langkah yang dilakukan di banyak daerah terkait dengan deteksi HIV/AIDS yang mewajibkan ibu hamil menjalani tes HIV merupakan cara yang tidak memakai perspektif gender. Ini cenderung menghukum ibu rumah tangga (baca: istri).
Hukuman bagi istri terkait dengan HIV/AIDS kian kental karena judul-judul berita di banyak media massa dan media online justru menjadikan ibu rumah tangga sebagai objek.
Coba simak judul-judul berita ini:
- 351 Warga Jakarta Barat Positif HIV, Sebagian Besar Ibu Rumah Tangga
- Ratusan Ibu Di Jakarta Barat Positif HIV AIDS, Kenali Ciri-Ciri HIV AIDS
- HIV Serang Ibu Rumah Tangga di Bandung, Pakar Beberkan Penyebabnya
- Ratusan Ibu Rumah Tangga & Mahasiswa di Bandung Terinfeksi HIV/AIDS
- Duh, Setiap Tahun 40 Ibu Rumah Tangga di Bandung Terjangkit HIV/AIDS
Kalau saja pemerintah provinsi, kabupaten dan kota membalik paradigma berpikir, maka yang menjalani tes HIV bukan istri yang hamil, tapi suami dari istri yang hamil.
Soalnya, kalau seorang istri yang menjalani tes HIV terdeteksi positif suaminya tidak mau menjalani tes HIV. Di Banten malah kabur meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Nah, suami dari istri hamil yang terdeteksi HIV-positif yang tidak mau menjalani tes HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan: "Bina Wilayah ini akan kita gelar di Seluruh Kecamatan. Hal ini menjadi bentuk kolaborasi aktif masyarakat untuk menekan angka ODHA khusunya di Kota Bandung," ungkap Yuni.
Bagaimana caranya masyarakat menekan angka Odha (cara penulisannya bukan dengan huruf kapital karena Odha bukan akronim tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS).
Hanya orang per orang, dalam hal ini warga, yang bisa menekan jumlah kasus HIV/AIDS yaitu dengan tidak melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.Â
Pemerintah tidak bisa melakukan penjangkauan atau intervensi terhadap pelaku perilaku seksual berisiko di atas.
Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 tahun 2015 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome di pasal 27 disebutkan: Untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, dilaksanakan melalui:
a. sebelum menikah tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia) -- fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga sehingga suami dalam ikatan pernikahan yang sah
b. setia dengan pasangan (be faithful) -- ini hanya komitmen yang tidak bisa dipastikan karena tergantung pada individu
Disebutkan pula: Sebagai Ketua Forum WPA, Yuni mendorong WPA Kecamatan untuk Aktif mendata pengidap ODHA. untuk Selanjutnya diberi pengertian agar berkomitmen untuk berobat dan tidak menularkannya ke orang lain,
Data warga yang mengidap HIV/AIDS ada di dinas kesehatan (Dinkes) dan KPA. Mereka yang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku otomatis akan terdaftar sebagai peserta pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV).
Mereka juga sudah menyatakan akan menghentikan penularan HIV/AIDS ke orang lain mulai dari diri mereka jika terdeteksi HIV-positif saat menjalani konseling sebelum tes.
Yang jadi persoalan besar justru warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka juga tidak menyadari sebagai pengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Kalau Pemkot Bandung ingin menekan jumlah Odha adalah dengan membuat regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), untuk mencari warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Ini langkah yang lebih masuk akal daripada pembinaan wilayan melalui WPA.
Disebutkan pula: "Biasanya pengidap ODHA tidak terbuka. Mudah-mudahan dengan pendekatan cinta dan kasih sayang, mereka bisa terbuka," tutur Yuni.
Untuk apa terbuka? Membuka status HIV justru membawa bencana yaitu stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) bagi Odha. Mereka sudah terbuka yaitu tercatat di Dinkes dan KPA. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H