Pendidikan dasar, SD-SMP, adalah hak universal, di Indonesia disebut wajib belajar, yang wajib adalah pemerintah menyediakan sarana dan prasarana
Di masa rezim Orde Baru (Orba) ada wacana yang bikin ribut dan heboh yaitu soal seragam sepatu bagi pelajar SD, SMP dan SLTA. Silang pendapat pun terjadi, tapi semua buntu ibarat menghadapi tembok karena berhadapan dengan kekuasaan.
Untunglah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) priode 1985-1988, ketika itu, (alm) Prof Dr Fuad Hassan, dengan tegas mengatakan bahwa pakaian seragam dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di kelas pada sekolah formal.
Wacana sepatu seragam akhirnya tidak berlanjut. Jika pelajar dipaksa harus memakai sepatu seragam tentulah sudah bisa dihitung-hitung keuntungan finansial bagi pengelola program tersebut. Pelajar SD, SMP dan SLTA jumlahnya jutaan sehingga akan terjual jutaan pasang sepatu di setiap awal tahun ajaran baru.
Terkait dengan pakaian seragam disebutkan bahwa dengan bertelanjang dada dan kaki ayam sekalipun anak-anak tidak boleh dilarang masuk ke kelas untuk belajar karena belajar adalah hak bukan kewajiban.
Celakanya, di Indonesia disebut 'wajib belajar' padahal secara empris yang benar adalah 'hak belajar' yaitu pendidikan dasar dari SD sampai SMP. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar yang gratis ini sifatnya universal sehingga yang wajib adalah negara, dalam hal ini pemerintah, menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar bagi anak-anak bangsa.
Jika ada anak usia sekolah yang tidak belajar, maka kesalahan bukan pada orang tua anak tersebut tapi ada di pundak pemerintah. Penyebab anak-anak tidak mengikuti pendidikan formal pendidikan dasar merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
Maka, amatlah ironis jika anak-anak tidak bisa belajar di kelas hanya karena mereka tidak mempunyai pakaian seragam dan tidak pula punya sepatu.
Mereka bukan tidak mau memakai pakaian seragam dan sepatu, tapi kondisi kehidupan keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan absolut.
Terkait dengan pakaian seragam, tidak semua negara di dunia ini yang membuat aturan mewajibkan pelajar memakai pakaian dan sepatu yang seragam.
Secara ekonomis dengan aturan baru yang menambah baju adat untuk seragam sekolah orang tua kalangan miskin kian dibebani karena harus membeli banyak pakaian seragam anak-anaknya untuk sekolah.
Pakaian seragam sekolah yang berbeda mulai dari hari Senin sampai Jumat merupakan beban ekonomi bagi keluarga miskin.
Ada pakaian upacara, seragama batik, seragam biasa, pakaian olahraga, pakaian keagamaan dan sekarang ditambah pula dengan pakaian adat. Apalagi harga baju ada tidak akan murah.
Dengan harga antara Rp 40.000-an sampai Rp 70.000-an untuk baju seragam tidak jadi masalah bagi kalangan berada, tapi persoalan besar bagi keluarga miskin.
Penduduk Indonesia masih banyak yang di bawah garis kemiskinan absolut. Bahkan di beberapa daerah ada keluarga dalam cengkeraman kemiskinan ekstrem yang absolut.
Mereka adalah warga negara yang berada di zona kemiskinan absolut yang sama sekali untuk memenuhi kebutuhan primerpun tidak bisa, seperti makanan bergizi dan air bersih.
Tempat tinggal atau rumah mereka juga tidak layak dengan fasilitas yang tidak higienis. Akses ke pendidikan, kesehatan dan sumber informasi juga sangat rendah.
Dengan penghasilan yang sangat rendah orang tua miskin harus membeli pakaian seragam harian, pakaian adat dan pakaian sehari-hari serta sepatu untuk Lebaran, Natal dan Tahun Baru.
Kalau saja tidak ada aturan yang mengharuskan pelajar memakai pakaian seragam, maka orang tua miskin akan lega karena cukup membeli pakaian dan sepatu Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang sekaligus jadi pakaian anak-anaknya ke sekolah. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H