Dinkes Karawang akan melacak (tracking) kontak seksual pengidap HIV/AIDS, tracking merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM
"Dinas Kesehatan Karawang bakal melakukan tracking (pelacakan-pen.) penyebaran HIV/AIDS melalui transmisi seksual." Pernyataan ini ada dalam berita "Karawang Bakal Lakukan Tracking Penyebaran HIV/AIDS melalui Transmisi Seksual" di wartakota.tribunnews.com (28/902022).
Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar) dilaporkan 2.052. Yang perlu diingat jumlah kasus ini tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Sepanjang yang diketahui penulis tidak ada satupun negara di dunia ini yang melakan tracking atau tracing terhadap pengidap HIV/AIDS terkait dengan perilaku seksualnya.
Selain tidak dikenal dalam penanggulangan HIV/AIDS, tracking juga merupakan perbukan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) karena epidemi HIV/AIDS bukan wabah.
Berbeda dengan pandemi virus corona (Covid-19) banyak negara yang melakukan tracing terkait dengan kontak sosial, sekali lagi kontak sosial, dalam bentuk closed contact (kontak jarak dekat) karena hal itu jadi media penularan virus corona.
Sedangkan HIV/AIDS tidak menular melalui pergaulan sosial sehari-hari bahkan dalam bentuk closed contact sekalipun.
Selain itu kontak yang bisa menularkan HIV/AIDS adalah hubungan seksual yang sifatnya privasi. Tidak ada aturan yang bisa memaksa seseorang membuka informasi tentang kontak seksual.
Lagi pula bagaimalah Dinkes Karawang melakukan contact tracking terhadap warta yang melakukan perilaku-perilaku seksual berisiko di bawah ini:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.Â
Tidak ada aturan yang berkekuatan hukum untuk melacak perilaku-perilaku seksual di atas, kecuali terkait dengan praktek pelacuran atau nomor 5. Tapi, itu pun mustahil karena lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel sedangkan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Dalam berita disebutkan: Pasalnya, penderita HIV sangat tinggi dan didominasi penyebarannya karena seks bebas.
Kalau 'seks bebas' yang dimaksud adalah zina, maka lagi-lagi pernyataan ini mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam berita ini disebut 'seks bebas,' tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).
Lagi pula kalau benar 'seks bebas' (baca: zina) penyebab HIV/AIDS, maka semua orang di dunia ini yang pernah melakukan zina, termasuk pasangan suami istri yang menikah karena hamil duluan karena zina, sudah mengidap HIV/AIDS.
Tapi, faktanya tidak! Perbandingan antara jumlah dan frekuensi warga dunia yang melakukan zina dengan jumlah kasus HIV/AIDS tidak sebanding. Sampai akhir tahun 2021 UNAIDS (badan khusus PBB yang menangani HIV/AIDS) melaporkan jumlah kasus HIV/AIDS global sebanyak 38,4 juta dengan kasus infeksi baru 1,5 juta per tahun.
Ada lagi pernyataan: Dikatakannya (Aktivis pencegahan dan perawatan penyakit menular seksual, Iwan Somantri Amintapradja-pen.), penangannya bukan hanya penyuluhan saja. Akan tetapi, harus ada langkah tegas seperti aturan tes HIV saat ingin melakukan pernikahan atau dilakukan tes HIV secara serentak di Kabupaten Karawang.
Pernyataan ini ngawur, karena;
Pertama, apa ada bukti penularan HIV/AIDS ke ibu-ibu rumah tangga karena suami sudah mengidap HIV/AIDS sebelum menikah.
Kedua, tes HIV sebelum menikah bukan vaksin AIDS karena biar hasil tes negatif HIV saat pernikahan, bisa saja, terutama suami, melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS
Baca juga: Tes HIV bagi Calon Pengantin di Kabupaten Karawang Bukan Vaksin HIV
Ketiga, tidak semua warga Karawang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko sehingga tes HIV serentak untuk semua warga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Kempat, hasil tes HIV hanya berlaku saat pengambilan darah waktu tes HIV. Setelah itu tidak ada jaminan semua orang yang hasil tes HIV-nya negatif akan negatif HIV seumur hidupnya.
Disebutkan pula: Karena banyak bertambahnya penderita HIV yang setiap tahunnya, kata Endang (Kepala Dinas Kesehatan Karawang, Endang Suryadi-pen.), Dinkes Karawang akan segera melakukan tracking serta mapping penyebaran HIV melalui transmisi seksual guna upaya mengendalikan penyebaran HIV.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana cara Dinkes Karawang melakukan tracking dan mapping terkait dengan pelaku-pelaku perilaku seksual berisiko di atas?
Ya, mustahil.
Lagi pula tracking itu ada di hilir dalam penanggulangan HIV/AIDS. Artinya dilakukan tracking berdasarkan warga yang sudah tertular HIV/AIDS.
Dalam epidemi HIV/AIDS yang diperlukan adalah langkah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama melalui hubungan seksual.
Jika tidak ada program di hulu, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Kondisinya kian runyam karena banyak warga yang tidak menyadari kalau mereka sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Akibatnya, warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran ini seperti 'bom waktu' yang kelak jadi 'ledakan AIDS' di Karawang.Â
Maka, daripada melakukan tracking yang tidak dikenal dalam penanggulangan HIV/AIDS, jauh lebih arif dan bijaksana membuat regulasi yang bisa mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H