Sudah 150-an Perda AIDS di Indonesia tapi hasilnya nol besar karena tidak ada pasal yang untuk cegah penularan HIV yang akurat
"Sementara itu, Pegiat HIV/Aids di Kota Depok, Erdyansyah menilai, penanggulangan HIV/Aids di Kota Depok memerlukan Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukumnya." Ini ada dalam berita "Tekan HIV di Depok Perlu Perda" di radardepok.com (4/10-2022).
Sampai hari ini, 4/10-2022, sudah ada 150-an Perda AIDS di seluruh Indonesia, tapi hasilnya nol besar karena pasal-pasal di Perda AIDS tidak menukik ke akar persoalan yang mencegah penularan HIV secara akurat.
Pada rentang waktu menunggu Perda AIDS insiden infeksi HIV baru di Kota Depok akan terus terjadi.
Lagi pula penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Baca juga: Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia 'Mengekor' ke Ekor Program Thailand
Begitu juga dengan Perda AIDS hanya copy-paste dari satu perda ke perda lain.
Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand
Jika Pemkot Depok mau bikin Perda, maka jangan copy-paste tapi bikin pasal yang bisa menutpup 'pintu masuk' HIV/AIDS ke Kota Depok yaitu dengan program ril untuk menjangkau perilaku-perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di bawah ini:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.Â
Jika pasal-pasal di Perda itu kelak hanya sebatas 'orasi moral' maka tidak ada gunanya karena insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Disebutkan dalam berita: Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Depok, Mary Liziawati mengatakan, berdasarkan pendataan yang dilakukan pihaknya, sebanyak 2.207 warga Depok mengidap penyakit HIV/Aids
Jumlah kasus yang dilaporkan ini (2.207) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Ada lagi pernyataan: Dari jumlah keseluruahan, sebut Mary, setidaknya ada 171 orang meninggal dunia akibat, terinfeksi virus mematikan tersebut. "Jumlah yang meninggal ada 171 orang," ujarnya.
Yang menyebabkan kematian pengidap HIV/AIDS bukan (virus) HIV karena HIV bukan virus yang mematikan. Penyebab kematian pengidap HIV/AIDS adalah penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS, disebut infeksi oportunisik, (secara statisti antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak meminum obat antiretroviral/ARV), seperti diare, pneumonia, TB dan lain-lain (lihat matriks masa jendela).
Disebutkan oleh Anggota Komisi D DPRD Kota Depok, Imam Musanto: .... penularan HIV/Aids di Kota Depok dipengaruhi sejumlah faktor. "Pertama, yang saya perhatikan dari pergaulan yang sangat mengkhawatirkan di saat seperti sekarang ini. Kedua, faktor orangtua yang punya HIV/Aids kemudian anaknya menjadi korban, dan anaknya tertular."
Kasus-kasus HIV/AIDS baru tidak ada kaitannya dengan pergaulan, tapi karena ada warga yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko di atas.
Ada lagi pernyataan: Meski begitu, ungkap Erdy (Pegiat HIV/Aids di Kota Depok, Erdyansyah-pen.), kemajuan penanggulangan HIV/Aids di Kota Depok dapat terlihat dari bertambahnya unit pelayanan Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP).
PDP adalah langkah di hilir. Yang diperlukan adalah langkah konkret di hulu mencegah warga melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Tanpa program yang ril di hulu, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Warga yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penularan terjadi tanpa disadari pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.
Penyebaran HIV/AIDS jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Kota Depok. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H