Maka, dengan kondisi di atas pernyataan Dede ini dengan sendirinya gugur: Jika Indonesia membuat aturan atau regulasi yang mengatur secara tegas mengenai akibat hukum penularan HIV/AIDS, maka akan dipastikan menekan angka penularannya.
Baca juga: Keluhan Kesehatan Tidak Otomatis Terkait dengan HIV/AIDS
Dede juga menulis: Kurangnya pendidikan seks patut dijadikan salah satu sebab mata rantai penularan masih tetap ada.
Pendikan seksualitas (bukan pendidikan seks) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.
Sosialisasi tentang HIV/AIDS juga sudah dilakukan sejak awal epidemi (1987), tapi hasilnya 'big nothing' alias nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS juga dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.
Sampai sekarang banyak warga yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sesuai dengan fakta medis. Termasuk pernyataan Dede dalam artikel ini yang mengaitkan 'perilaku seks menyimpang' sebagai penyebab HIV/AIDS.
Padahal, dengan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sudah merupakan 'vaksin HIV' sehingga terhindar dari risiko tertular HIV/AIDS.
Tapi, karena yang sampai ke masyarakat hanya mitos, maka risiko tertular HIV/AIDS terus terjadi melalui perilaku-perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.
Orang-orang yang tertular HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H