Namun, perlu diingat jumlah kasus yang terdeteksi (2.640) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, yang perlu dilakukan Dinkes NTB selain mencegah infeksi HIV baru di hulu juga mencari warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Soalnya, warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan pula oleh dr Zainul: "Usia produktif yang paling tinggi kasus positif HIV/AIDS, antara usia 25 sampai 40 tahun."
Data ini realistis karena pada rentang usia 25-40 tahun libido sangat tinggi dan mereka sebagaian besar bekerja sehingga mempunyai uang untuk membeli seks. Libido (hasrat atau dorongan seksual) tidak bisa diganti dengan kegiatan lain selain dengan hubungan seksual penetrasi.
Sedangkan 'seks swalayan' (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan) tidak menuntaskan dorongan libido.
Persoalannya adalah mereka tidak memperoleh informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat yang bertumpu pada fakta medis.
Hal itu terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Contohnya dalam berita ini yaitu penyebutan 'pergaulan bebas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan usia produktif terjangkit HIV/AIDS.' Ini jelas tidak akurat karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (lihat matriks di atas).