Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Identitas Pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat Bocor?

23 September 2022   10:47 Diperbarui: 23 September 2022   11:06 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS terjadi karena identitas mereka bocor, padahal asas tes HIV adalah kerahasiaan identitas dan hasil tes

Menurut Sukarno (Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Jakarta Barat, Sukarno-pen.), banyak pasien yang melarikan diri dari pantauan petugas maupun tenaga kesehatan lantaran stigma buruk masyarakat. Ini ada dalam berita "Gara-gara Stigma Buruk Masyarakat, Banyak Pasien HIV/AIDS Kabur dan Sulit Dimonitor" di megapolitan.kompas.com (21/9-2022).

Pertanyaan yang sangat mendasar, tapi tidak ditanya oleh wartawan: Mengapa identitas pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat bocor ke masyarakat?

Dari judul berita saja sejatinya wartawan bisa mengembangkan informas tersebut dengan membawanya ke realias sosial di social settings.

Bedasarkan laporan siha.kemkes.go.id DKI Jakarta ada di peringkat ke-2 dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional yaitu sebanyak 84.241 yang terdiri atas 73.414 HIV dan 10.827 AIDS (Lihat tabel).

Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Di bagian lain Sukarno mengatakan: "Banyak orang yang terkena HIV atau AIDS mereka takut kalau dicap oleh masyarakat. Mereka distigma seolah-olah orang yang terkena HIV adalah orang yang suka selingkuh atau persepsi lain."  

Lagi-lagi pertanyaan untuk Sukarno: Mengapa masyarakat mengetahui identitas warga yang mengidap HIV/AIDS?

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan mengapa dan bagaimana identitas warga yang mengidap HIV/AIDS bocor ke masyarakat.

Padahal, secara hukum ada beberapa syarat yang wajib dipatuhi oleh penyelenggara tes HIV, yaitu konfidensial (kerahasiaan) identitas dan hasil tes HIV, konseling sebelum dan sesudah tes HIV, informed consent (pernyataan tertulis bersedia menjalani tes HIV).

Nah, kalau KPA Jakarta Barat menjalankan tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku maka identitas warga yang tes HIV hanya diketahui oleh tenaga medis dan dokter di layanan kesehatan (Yankes) yang dirujuk pemerintah untuk melakukan tes HIV.

Secara hukum yang membocorkan identitas pengidap HIV/AIDS dan penyakit lain merupakan perbuatan yang melawan hukum dan merupakan pelanggara terhadap hak asasi manusia (HAM).

Lagi-lagi pertanyaan: Mengapa dan bagaimana kemudian identitas warga yang hasil tes HIV-nya positif bocor ke masyarakat?

Maka, Sukarno ibarat menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Mengeluh soal stigma masyarakat terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tanpa sadar membuka aib juga yaitu identitas Odha bocor.

Untuk itulah Sukarno perlu mencari tahu di mana dan oleh siapa identitas Odha di Jakarta Bacar bisa bocor ke warga?

Jangan pula nanti Yankes, Dinkes dan KPA mengatakan bahwa identitas Odha perlu dibocorkan agar masyarakat waspada. Ini konyol karena epidemi HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular melalui pergaulan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Karena bukan wabah identitas Odha tidak boleh dipublikasikan atau dibocorkan ke warga. Lagi pula dalam proses tes HIV yang baku, setelah membuat informed consent seseorang yang akan tes HIV diwajibkan membuat pernyataan bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari diri mereka.

Maka, tidak ada alasan untuk membocorkan identitas Odha karena mereka sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV. Salah satu caranya adalah dengan meminum obat antiretroviral (ARV) yang diberikan jika hasil tes HIV positif.

Disebutkan lagi oleh Sukarno: "Ada pendampingan psikologis, kami mempunyai lembaga swadaya masyarakat itu mendampingi secara psikologis."

Ini percuma saja kalau identitas Odha terus bocor. Warga yang menydari perilakunya berisiko tertular HIV akan berpikir dua kali untuk tes HIV karena takut identitasnya bocor ke publik. Kalau dia pegawai atau karyawan tentu jadi masalah di tempat kerjanya.

Ini juga pernyataan dalam berita: Oleh karena itu, Sukarno meminta kepada masyarakat untuk tidak mendiskriminasi para pasien HIV/AIDS.

Jangakan di Indonesia di negara maju pun ada stigma dan diskriminasi terhadap Odha yang berawal dari informasi HIV/AIDS yang selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.

Misalnya, mengait-ngaitkan zina, seks bebas, pelacuran dan lain-lain dengan penularan HVAIDS, padahal risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, tapi terkait dengan kondisi saat terjadi hubungan seksual (Lihat matrik sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kalau Sukarno, dalam hal ini KPA Jakarta Barat, hanya mengeluh soal Odha yang putus obat tidak akan menyelesaikan masalah epidemi HIV/AIDS karena soal putus obat ada di hilir sedangkan yang jadi masalah ada di hulu yaitu infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa yang tertular melalui perilaku seksual berisiko.

Jakarta Barat sendiri sudah sesumbar akan bebas AIDS pada tahun 2030, tapi dengan kasus putus obat dan tidak ada langkah penanggulangan yang konkret di hulu hal itu hanya angan-angan belaka.

Baca juga: Angan-angan Jakarta Bebas AIDS pada 2030

Mungkin Pemerintah Jakarta Barat menepuk dada dengan mengatakan: di daerah kami tidak ada lokalisasi pelacuran.

Secara de jure benar karena sejak reformasi semua tempat pelacuran ditutup. Tapi secara de facto apakah Pemerintah Jakarta Barat bisa menjami tidak ada praktek pelacuran

Jalas tidak bisa karena lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusi dilakukan sembarang waktu dan sembarang tempat

Pemprov DKI Jakarta sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi seperti puluhan Perda lain hanya jadi hiasan di lemari arsip karena pasal-pasal pencegahannya tidak menukik ke akar persoalan.

Baca juga: Menakar Keampuhan Perda AIDS Jakarta

Yang dihadapi Sukarno itu hanya bagian kecil dari persolan HIV/AIDS di Jakarta Barat karena tidak ada langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu.

 Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Jakarta Barat khususnya dan di DKI Jakarta umumnya akan terus terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun