Berita seputar bocah JA korban perkosaan yang terdeteksi HIV/AIDS tidak memberikan gambaran penyebaran HIV/AIDS di Kota Medan terkait dengan JA
Berita terkait dengan pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami bocak JA, 12 tahun, di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) hanya berkutat di permukaan sehingga berita banyak yang hanya sebatas talking news.
Seperti berita ini "Kasus Pelecehan Seksual Bocah 12 Tahun hingga Kena HIV/AIDS, Gubernur Sumut Beri Atensi" di liputan6.com (19/9-2022) sama sekali tidak memberikan gambaran terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS.
Padahal, JA terdeteksi HIV di masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV. Itu artinya JA tertular HIV lima tahun yang lalu atau sekitar tahun 2017. (Lihat matriks masa jendela).
Dalam banyak berita tentang JA sama sekali tidak ada pembahasan tentang risiko laki-laki yang melakukan hubungan seksual (vaginal, anal dan oral) dengan JA.
Secara empiris ada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke JA. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan ke istrinya. Jika istri tertular ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang dia kandung kelak. Bisa juga terjadi istrinya lebih dari satu dan laki-laki ini pun pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Selanjutnya ada pula laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan JA dengan kondisi JA mengidap HIV/AIDS. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan JA berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan JA dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan ke istrinya. Jika istri tertular ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang dia kandung kelak. Bisa juga terjadi istrinya lebih dari satu dan laki-laki ini pun pelanggan PSK.
Kegiatan jajaran Pemprov Sumut, termasuk Gubsu Edy Rahmayadi, hanya terpusat kepada JA.
Dalam berita disebutkan: Pemprov Sumut melalui beberapa OPD terkait sudah melakukan penanganan dan pendampingan terhadap korban, di antaranya Dinas Sosial Sumut, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan Dinas Kesehatan.
Padahal, ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Medan oleh laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke JA dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari JA.
Baca juga:Â Penyebaran HIV/AIDS di Kota Medan Terkait dengan JA Korban Perkosaan yang Terdeteksi Idap HIV/AIDS
Memang, melakukan tracing terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan JA melawan hukum dan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Tetapi, jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS di Kota Medan mereka itu bisa diajak untuk menjalani tes HIV secara sukarela dengan merahasiakan identitas.
Untuk itulah Pemprov Sumut dan Pemkot Medan bisa mengajak media massa dan media online untuk mengulas kasus JA secara komprehensif dengan memberikan gambaran risiko penularan HIV/AIDS.
Tentu saja media juga memaparkan langkah untuk menjalani tes HIV secara sukarela dengan menyebut tempat-tempat tes HIV yang dirujuk serta jaminan kerahasiaan. Perlu juga mengulas biaya tes HIV di pusat layanan kesehatan (Pusyankes), seperti Puskesman dan rumah sakit umum daerah (RSUD).
Dalam berita ada pernyataan: Ketua Yayasan Peduli ADHA, Saurma Siahaan mengatakan, ada pemberitaan yang terlalu vulgar menyebutkan status korban. Bahkan ada pemberitaan yang menyebutkan lokasi rumah aman tempat korban berada.
Hal itu terjadi karena beberapa faktor, misalnya, wartawan tidak bisa membawa fakta terkait JA ke ranah realitas sosial dengan peliputan yang memakai perspektif.
Selain itu wartawan menempatkan JA sebaga objek dengan kondisi powerless (tak berdaya) dan voiceless (tak didengar). Yang dikhawatirkan banyak orang justru menyalahkan JA seperti pada banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual (Lihat matrik posisi korban sebagai objek).
Tapi, pihak-pihak terkait juga harus memberikan informasi yang akurat. Sumber-sumber berita tentang JA juga tidak ada yang mengaitkan kasus HIV/AIDS pada JA dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Medan.
Kalau saja ada sumber berita yang memberikan data tentang jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS di Kota Medan khususnya dan di Sumut umumnya, maka data itu bisa ditarik ke fakta yang melibatkan JA dengan kondisi mengidap HIV/AIDS.
Di satu sisi pemberitaan gencar tentang JA, tapi di sisi lain dikesankan tidak ada dampak buruk kondisi JA ke masyarakat dengan kondisi mengidap HIV/AIDS dan dijadikan kerabatnya sebagai 'budak seks.'
Berdasarkan data yang diolah dari laporan siha.kemkes.go.id posisi Sumut secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS ada di peringkat ke-7 yaitu sebanyak 27.414 yang terdiri atas 22.886 HIV dan 4.528 AIDS (Lihat tabel 10 provinsi dengan kasus terbanyak).
Yang perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (27.414) tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Kasus yang tidak terdeteksi termasuk laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke JA dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari JA. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Antara lain ke istri, pacar, selingkuhan bahkan ke PSK.
Tanpa langkah yang konkret untuk mendeteksi warga Kota Medan khususnya dan Sumut umumnya yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, penyebaran HIV/AIDS bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H