Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Risiko Tertular HIV/AIDS Tidak Semata-mata karena Kegiatan Amoral

21 September 2022   14:28 Diperbarui: 21 September 2022   14:39 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaitkan penularan HIV/AIDS dengan kegiatan amoral akan menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS

"Kasus HIV/AIDS di Bandung, Dosen Unpas Beri Langkah Preventifnya" Ini judul berita di (kompas.com, 18/9-2022). Terkait dengan kasus HIV/AIDS dikesankan oleh banyak media hanya jadi persoalan di Bandung, Jawa Barat (Jabar), saja.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang banyak di Tanah Air pada mahasiswa dan atau warga justru paling banyak bukan di Jabar tapi di Jawa Timur (Jatim) (Lihat tabel 10 provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak).

Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Dari tabel di atas jelas Jabar ada di peringkat ke-4 dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS di Bandung jadi bahan berita untuk di-blow up banyak media, bahkan mengarah ke berita yang bombastis (omong kosong karena tidak berguna untuk menanggulangi HIV/AIDS) karena disebut jumlahnya 414 pada mahasiswa.

Celakanya, sumber data itu, yaitu Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi, tidak menjelaskan kapan atau rentang waktu kapan 414 kasus itu terdeteksi. Tambah runyam sebagian besar wartawan pun menyantap data itu tanpa melakukan analisis yang komprehensif dan mencari narasumber lain.

Seorang dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, Charisma Asri Fitrananda, pun angkat bicara terkait dengan kasus HIV/AIDS dengan mengusung aspek moral: HIV AIDS muncul akibat aktivitas amoral, misalnya seks bebas, penggunaan jarum suntik bergantian, dan sebagainya.

Mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan kegiatan amoral (tidak mempunyai akhlak) akan menyuburkan stigma (cap buruk atau negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS yang justru menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS karena orang enggan jalani tes HIV.

Penyebuatan amoral itu pun menghina dan menghujat ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami karena mereka tidak pernah melakukan perbuatan amoral.

Tampaknya, banyak kalangan termasuk wartawan yang tidak paham tentang jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS. Sebanyak 414 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada mahasiswa di Bandung itu merupakan kumulatif dalam kurun wktu 31 tahun sehingga setiap tahun hanya ada 13,35 kasus atau 1,11 kasus per bulan.

Baca juga: 414 Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS Ternyata Terjadi pada Rentang Waktu Selama 30 Tahun

Itu kasus sangat-sangat rendah jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Laporan siha.kemkes.go.id menunjukkan dari tahun 1987 -- Desember 2021 jumlah kasus AIDS di Indonesia pada anak sekolah dan mahasiswa (3.477) justru lebih sedikit dibandingkan dengan karyawan (22.382) dan ibu rumah (19.356).

Secara empiris kasus HIV/AIDS pada anak sekolah dan mahasiswa ada di terminal terakhir karena mereka tidak punyai istri. Bandingkan dengan 19.356 suami yang menularan HIV/AIDS ke istrinya yang bermuara pada bayi yang mereka lahirkan kelak dengan HIV/AIDS jika tidak ditangani dokter.

Di lain sisi 19.356 suami itu bisa jadi ada yang punya istri lebih dari satu, punya pacar, selingkuhan dan pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Laporan KPA Nasional, misalnya, hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK. Dari jumlah itu 4,9 juta di antaranya mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9/4-2013).

Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kian parah karena 19.356 suami itu tidak tes HIV. Maka, mereka jadi penyebar HIV/AIDS di Indonesia, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Banyak wartawan yang tidak mencari perbandingan, misalnya kasus HIV/AIDS pada pelajar dan mahasiswa di 'Kota Pelajar' Yogyakarta atau di kota-kota tempat kampus ternama yang banyak mahasiswanya.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, pergaulan bebas, zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom (Lihat matrsik sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Charisma: Apa yang Anda maksud dengan seks bebas?

Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Kalau benar seks bebas penyebab HIV/AIDS, maka semua orang di muka Bumi ini yang pernah melakukan seks bebas berarti sudah jadi pengidap HIV/AIDS. Dengan jumlah pelaku seks bebas yang banyak di dunia tidak membuat jumlah kasus HIV/AIDS global sampai ratusan juta atau miliaran.

Laporan UNAIDS (Badan PBB yang menangani HIV/AIDS) menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS di dunia pada akhir tahun 2021 sebanyak 38,4 juta dengan kasus baru 1,5 juta per tahun.

Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri free sex (free ---- atau ----- sex). Yang ada adalah free love (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, Second Edition, Oxford University Press, London, 1963. Disebutkan free love = sexual relations without marriage yaitu hubungan seksual tanpa nikah (halaman 397).

Disebutkan: Menurut dia (Charisma-pen.), moral mahasiswa di lapangan sudah bias. Mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang baik dan buruk karena sudah hiper.

Dari aspek seksualitas menyalurkan libido merupakan hak dan pemenuhan kebutuhan biologis dan tidak terkait dengan baik atau buruk. Jika dikaitkan dengan baik atau buruk itu di ranah moral dan agama.

Penyaluran libido tidak bisa diganti dengan kegiatan lain selain hubungan seksual penetrasi atau 'seks swalayan' (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan). Tapi, secara empiris 'seks swalayan' tidak menuntaskan libido.

Maka, setiap orang, bahkan yang mempunyai istri, ada hasrat menyalurkan libido melalui hubungan seksual, maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat berpijak pada medis.

Masalahnya adalah selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, seperti dalam berita ini disebutkan HIV/AIDS muncul karena seks bebas, padahal seks bebas adalah sifat hubungan seksual yang bukan jadi penyebab penularan HIV/AIDS.

Begitu juga dengan penyebutan pergaulan bebas yang sama sekali tidak terkait dengan penularan HIV/AIDS. Kalau sepasang manusia, anak sekolah, remaja, mahasiswa dan dewasa melakukan seks bebas dan pergaulan bebas dengan kondisi keduanya HIV-negatif, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.

Ada lagi pernyataan: Komunikasi Kesehatan tidak membahas medis dan kedokteran secara spesifik. Melainkan kontribusi komunikasi di dunia kesehatan. Misalnya tindakan preventif yang bisa dilakukan insan komunikasi untuk menanggulangi penyakit, dan lain-lain.

Cara pencegahan HIV/AIDS jelas harus berpijak pada fakta medis yaitu bisa dibuktikan di laboratorium dengan teknologi kedokteran bukan menyampaikan mitos seperti hindari seks bebas. Kalau satu pasangan keduanya HIV-negatif tidak ada risiko penularan HIV/AIDS walaupun laki-laki tidak pakai kondom dan hubungan seksual dilakukan di luar nikah (zina atau melacur).

Maka, materi KIE yang komprehensif adalah menyampaikan fakta empiris tentang cara-cara penularan HIV/AIDS antara lain melalui perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom. 

Apakah bisa melarang orang per orang untuk tidak melakukan perilaku berisiko di atas?

Tidak bisa!

Soalnya, semua terjadi di ranah privat. Maka, yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS adalah orang per orang bukan pemerintah. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun