Warga yang menjalani tes HIV di Yankes sudah terdata identitasnya dan sudah menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART)
"Karena dengan sebanyak data yang masuk ke kita, kita akan mengetahui. Karena kita tahu sendiri bahwa ketika kita bertemu dengan para penyintas HIV/AIDS ini, mereka mau terbuka saja, sudah nilai plus bagi kita. Karena apa? mereka bisa diobati, bisa dicegah. Jadi ketika mereka mau minum obat setiap hari, rutin, istiqomah minumnya, aman-aman saja." Ini pernyataan Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Tengah (Jateng), Taj Yasin Maimoen, dalam berita "Taj Yasin Minta Penderita HIV/AIDS Terbuka" di radarpekalongan.co.id (8/9-2022).
Disebutkan pula oleh Wagu Jateng, keterbukaan sangat dibutuhkan agar mereka cepat mendapatkan akses pengobatan.
Ada yang tidak akurat pada pernyataan Wagub Jateng di atas, yaitu: data orang-orang atau warga yang sudah terdeteksi HIV/AIDS ada di layanan kesehatan (Yankes), seperti Puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD) tempat mereka menjalani tes HIV.
Maka, secara empiris mereka terbuka dengan cakupan yang terbatas. Ketika menjalani tes HIV secara sukarela mereka menerima konseling sebelum tes dan sesudah tes.
Salah satu persyaratan untuk tes HIV adalah mereka menyatakan bahwa mereka akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari mereka. Itu artinya mereka akan minum obat antiretroviral (ARV) sesuai dengan resep dokter yang menangani mereka di Yankes.
Jadi, Pak Wagub tidak perlu lagi meminta mereka agar terbuka. Lain halnya kalau Pak Wagub ingin mereka terbuka di masyarakat. Ini persoalan lain karena masyarakat, bahkan tenaga medis (Nakes) di Yankes, ada yang belum siap untuk menerima Odha (Orang dengan HIV/AIDS) secara terbuka.
Baca juga: Bagaimana Antisipasi Penyebaran HIV/AIDS di Jawa Tengah?
Sudah jamak terjadi Odha menerima stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) dan diskriminsi (perlakuan berbeda). Itulah sebabnya sebagian Odha enggan terbuka di ranah publik.
Kalau ada kekhawatiran Pak Wagub terkait dengan potensi mereka menyebarkan HIV/AIDS tergantung dari konseling sebelum tes HIV. Soalnya, penulis beberapa kali menerima keluhan petugas di Yankes dengan ketus mengatakan: Tidak perlu harus menunggu, sekarang atau besok saja sama!
Yang terjadi warga yang konsultasi tentang HIV/AIDS langsung 'dipaksa' untuk tes HIV, padahal mereka harus menerima konseling sebelum tes yaitu penjelasan yang rinci dan akurat tentang HIV/AIDS. Setelah itu mereka harus menyatakan memahani informasi HIV/AIDS yang diberikan dan mereka menyatakan kesediaan untuk tes HIV dengan beberapa persyaratan yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.
Yang jadi masalah besar pada epidemi HIV/AIDS adalah warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Soalnya, jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Jateng, misalnya, dalam laporan siha.kemenkes.go.id menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2022 sebanyak 55.766 yang terdiri atas 41.904 HIV dan 13.862 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jateng pada peringkat ke-5 secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.
Perlu diingat bahwa epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemprov Jateng adalah mencari warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyakat. Untuk itu perlu regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), dengan catatan cara yang dilakukan tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Di bagian lain berita Wagub Jateng mengatakan: " .... Monggo sareng-sarenglah, kalau memang ada masyarakat yang terpapar HIV/AIDS, tolong ngomong saja. Biar nanti bisa diobati, atau paling tidak bisa dikendalikan HIV/AIDS-nya."
Yang bisa mengetahui siapa saja warga yang terpapar HIV/AIDS hanya Nakes dan doker yang melayani tes HIV di Yankes karena ketika mereka tes HIV ada catatan identitas. Mereka sudah tercatat sehingga masyarakat tidak perlu mencari-cari karena Odha tidak kasat mata. Ini terjadi karena tidak ada ciri-ciri, gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang atau warga yang terpapar HIV/AIDS.
Untuk mengendalikan penyebaran HIV/AIDS di Jateng dan di Indonesia larema epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas fisik dan administrai adalah dengan cara melakukan penanggulangan HIV/AIDS di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksua dengan pekerj seks komersial (PSK).
Celakanya, sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Trasaksi seks dilakukan secara daring dan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat. Ini membuat praktek pelacuran tidak bisa diintervensi atau dijangakau karena terjadi di ranah privat.
Ini juga pernyataan Wagub Jateng dalam berita: "Artinya apa? Itu dimulai dari bawah, sehingga memang kita harus menyadarkan kepada masyarakat untuk berperilaku hidup yang baik, meninggalkan narkoba, seks bebas, dan seterusnya. Ini kita jaga betul. Kita kampanyekan di sekolah-sekolah, di masyarakat, di (tempat) apa saja."
Tidak ada kaitan antara berperilaku hidup yang baik, meninggalkan narkoba dan seks bebas dengan penularan HIV/AIDS. Makan, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus bertambah karena informasi terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sesuai fakta medis tidak sampai ke masyarakat.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS 35 tahun yang lalu sosialisasi sudah dilancarkan, tapi hasilnya nol besar. Ini terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Sudah saatnya materi KIE disampaikan secara akurat sesuai dengan fakta medis agar masyarakat mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H