Yang terjadi warga yang konsultasi tentang HIV/AIDS langsung 'dipaksa' untuk tes HIV, padahal mereka harus menerima konseling sebelum tes yaitu penjelasan yang rinci dan akurat tentang HIV/AIDS. Setelah itu mereka harus menyatakan memahani informasi HIV/AIDS yang diberikan dan mereka menyatakan kesediaan untuk tes HIV dengan beberapa persyaratan yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku.
Yang jadi masalah besar pada epidemi HIV/AIDS adalah warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Soalnya, jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Jateng, misalnya, dalam laporan siha.kemenkes.go.id menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2022 sebanyak 55.766 yang terdiri atas 41.904 HIV dan 13.862 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jateng pada peringkat ke-5 secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.
Perlu diingat bahwa epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemprov Jateng adalah mencari warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyakat. Untuk itu perlu regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), dengan catatan cara yang dilakukan tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Di bagian lain berita Wagub Jateng mengatakan: " .... Monggo sareng-sarenglah, kalau memang ada masyarakat yang terpapar HIV/AIDS, tolong ngomong saja. Biar nanti bisa diobati, atau paling tidak bisa dikendalikan HIV/AIDS-nya."
Yang bisa mengetahui siapa saja warga yang terpapar HIV/AIDS hanya Nakes dan doker yang melayani tes HIV di Yankes karena ketika mereka tes HIV ada catatan identitas. Mereka sudah tercatat sehingga masyarakat tidak perlu mencari-cari karena Odha tidak kasat mata. Ini terjadi karena tidak ada ciri-ciri, gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang atau warga yang terpapar HIV/AIDS.
Untuk mengendalikan penyebaran HIV/AIDS di Jateng dan di Indonesia larema epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas fisik dan administrai adalah dengan cara melakukan penanggulangan HIV/AIDS di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksua dengan pekerj seks komersial (PSK).
Celakanya, sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Trasaksi seks dilakukan secara daring dan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat. Ini membuat praktek pelacuran tidak bisa diintervensi atau dijangakau karena terjadi di ranah privat.
Ini juga pernyataan Wagub Jateng dalam berita: "Artinya apa? Itu dimulai dari bawah, sehingga memang kita harus menyadarkan kepada masyarakat untuk berperilaku hidup yang baik, meninggalkan narkoba, seks bebas, dan seterusnya. Ini kita jaga betul. Kita kampanyekan di sekolah-sekolah, di masyarakat, di (tempat) apa saja."