Perseoalannya adalah: Bagaimana caranya mengajak warga agar tidak melakukan perilau berisiko tertular HIV/AIDS?
Memang, salah satu cara adalah melalui sosialisasi. Tapi, selama ini sejak awal epidemi 35 tahun yang lalu materi HIV/AIDS untuk sosialisasi dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS.
Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Salah satu mitos yang sampai sekarang beredar di masyarakat serta media massa dan media online adalah menyebutan 'seks bebas' sebagai penyebab HIV/AIDS.
Seperti dalam berita ini: "Apalagi disebutkan oleh Dinas Kesehatan, jarum suntik yang bergantian pada pengguna narkoba dan seks bebas menyumbang angka yang tinggi," terang Ana.
Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Sampai sekarang tidak ada yang bisa menjelaskan secara faktual apa yang dimaksud dengan 'seks bebas.' Tapi, jika disimak 'seks bebas' merupakan eufemisme dari kegiatan zina yaitu melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, seks di luar nikah, seks pranikah, homoseksual, dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matriks risiko tertular HIV/AIDS).
Terkait denga waria yang jadi persoalan besar bukan waria, tapi laki-laki yang membeli seks ke waria. Laki-laki yang membeli seks ke waria adalah heteroseksual yang biasanya mempunyai istri.
Maka, yang perlu diintervensi bukan waria tapi laki-laki pembeli seks ke waria karena sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan suami-suami yang sek dengan waria justru jadi 'perempuan' atau ditempong sehinga risiko tertular HIV/AIDS tinggi kalau waria yang menempong tidak memakai kondom.