Informasi tentang 414 mahasiswa ber-KTP Bandung tertular HIV/AIDS tidak akurat karena tidak disebut kapan kasus tersebut terdeteksi
Karena informasi yang dilemparkan oleh KPA Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), yaitu tentang jumlah kasus HIV/AIDS pada mahasiswa ber-KTP Kota Bandung, tidak akurat, maka banyak orang yang melihat Bandung sebagai 'lautan AIDS.
Padahal, berdasarkan laporan siha.kemkes.go.id (18/03/2022) menunjukkan ada 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak priode tahun 1987 sampai 31 Desember 2021
Lagi pula angka 414 kasus HIV/AIDS pada mahasiswa itu merupakan akumulasi jumlah kasus selama 30 tahun yaitu dari tahun 1991 -- 2021.
Baca juga: 414 Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS Ternyata Terjadi pada Rentang Waktu Selama 30 Tahun
Adapan 10 provinsi tersebut adalah: Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Banten dan Kepulauan Riau (Lihat Tabel I).
Dari data di atas Jabar justru ada di peringkat ke-4 secara nasional dengan 57.298 kasus, sedangkan Jatim di peringkat ke-1 dengan 89.299 kasus.
Pemberitaan sebagian besar media yang tidak menyajikan data seimbang justru menggiring opini publik ke arah yang tidak benar terkait dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.
Fakta tentang jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak di atas jadi ironis karena sejak reformasi gerakan moral telah menutup semua tempat pelacuran (d/h. lokalisasi pelacuran dan lokres/lokalisasi dan resosialisasi).
Jawa Timur (Jatim) sendiri sebagai daerah yang melaporkan kasus HIV/AIDS terbanyak justru merupakan daerah yang sangat ekstrem menutup tempat pelacuran. Dikabarkan puluhan lokasi pelacuran sudah ditutup di Jatim.
Itu menunjukkan apa yang salama ini dikatakan oleh kalangan yang memakai 'baju moral' bahwa lokalisasi pelacuran sebagai 'biang keladi' penyebaran HIV/AIDS ternyata tidak sepenuhnya benar
Di 10 provinsi yang melaporkan kasus HIV/AIDS terbanyak secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran.
Fakta itu menunjukkan insiden infeksi HIV baru tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran karena risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak hanya terjadi melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PKS) langsung (kasat mata).
Secara de facto sejak lokalisasi dan lokres pelacuran dibumihanguskan dengan gerakan moral, lokalisasi pelacuranpun pindah ke jalanan yang selanjutnya menembus dunia maya lompat ke media sosial.
Maka, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah infeksi HIV baru, tertutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK (Lihat matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau).
Soalnya, semua terjadi di ranah privat sehingga tidak bisa diintervensi. Hal itu terjadi karena transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan sembarang waktu di sembarang tempat.
Berita yang mem-blow up kasus HIV/AIDS pada mahasiswa Bandung justru membikin masalah HIV/AIDS jadi kacau-balau karena banyak media (media massa dan media online serta portal berita) yang jadikan isu itu sebagai berita yang sensasional bahkan mengarah ke bombastis (KBBI: banyak berjanji, tetapi tidak akan berbuat banyak; banyak menggunakan kata dan ucapan yang indah-indah serta muluk-muluk, tetapi tidak ada artinya; bersifat omong kosong; bermulut besar).
Salah satu informasi yang ngawur adalah tentang ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS. Padahal, ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS tidak otomatis terkait langsung dengan infeksi HIV/AIDS.
Ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS harus ada prakondisi yaitu yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual atau nonseksual atau keduanya yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, Â
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom
(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah:
(8). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(9). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan bergiliran pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik, karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV bisa masuk ke jarum dan tabung.
Maka, biar pun diri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang disebut-sebut terkait dengan HIV/AIDS bahkan terjadi berulang tidak ada kaitannya dengan infeksi HIV/AIDS kalau yang bersangkutan tidak pernah melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual dan nonseksual berisiko di atas
Baca juga: Ngeri Kali Judul Berita HIV/AIDS Ini
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia justru mundur karena dihalau dengan moral yang justru berlawanan dengan fakta medis.
Dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2021 sebanyak 579.188 bisa jadi penyebaran HIV/AIDS di Tanah Air merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H