KPA Sulsel perlu juga mencari penyebab atau alasan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tidak menjalani ART. Di beberapa daerah selah satu penyebabnya adalah pusat layanan yang menyediakan obat antiretroviral (ARV) jauh dari tempat tinggal mereka sehingga membutuhkan biaya berupa ongkos yang besar untuk transportasi. Bahkan ada yang harus menginap sehingga perlu pula uang untuk bayar penginapan.
Di bagian lain disebut: Alasan pengidap HIV/AIDS atau ODHA ini sulit dijangkau, karena danya bayang-bayang stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Hal itulah yang membuat mereka merahasiakan statusnya sebagai ODHA.
Penulisan ODHA tidak tepat yang tepat adalah Odha. Soalnya, Odha bukan akronim atau singkatan, tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS sebagai padanan untuk PLWHA (People living with HIV/AIDS). Istilah Odha diperkenalkan oleh mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (d/h Depdikbud), setelah diskusi dengan aktivis dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta tahun 1995 (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, catatan kaki hlm 17).
Nah, Odha yang terdeteksi melalui tes HIV sukarela di Klinik VCT yang ditunjuk pemerintah akan mejalani ART. Tapi, ketika ada kendala biaya untuk transportasi mereka bisa putus obat.
Mereka ini sudah dijamin kerahasiaan identitas sehingga tidak jadi korban stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Lagi pula stigma dan diskrimnasi ada di hilir (Lihat matrik stigma di hilir).
HIV/AIDS memang bisa dicegah, tapi ketika informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral da agama, maka fakta medis HIV/AIDS lenyap. Yang sampai ke masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), termasuk melalui berita di sebagian besar media massa dan media online, hanya mitos (anggapan yang salah).
Seperti pernyataan ini: Akbar menyebut ada tiga cara untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Pertama, laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak berhubungan seks. Kedua, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, harus setia pada pasangannya. Ketiga, adalah penggunaan kondom.
Tidak ada hubungan langsung dan tidak langsung antara belum menikah dengan penularan HIV/AIDS, karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, zina, melacur, selingkuh, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matrik risiko tertular HIV).
Terkait dengan pasangan suami-istri yang saling setia, tapi di agama tertentu bisa beristri lebih satu. Ini juga bisa berisiko apalagi istri kedua dan seterusnya sudah pernah menikah karena tidak diketahui perilaku mantan suaminya.