Yang jelas selama Pemkab Sikka tidak bisa menutup pintu masuk HIV/AIDS yaitu perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, maka selama itu pula akan terjadi kasus baru HIV/AIDS.
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Yang punya istri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya atau pasangan seks lain atau pekerja seks komersial (PSK). Yang tidak beristri akan menularkan HIV/AIDS ke pacar atau PSK.
Selain kasus baru, penyebaran HIV/AIDS juga dilakukan oleh warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Yang perlu diingat bahwa jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (dalam berita disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Sikka 1.000) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS di Sikka, seperti dikatakan oleh Yohanes: pihaknya gencar melakukan pencegahan dengan mencanangkan tindakan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) selain memberikan obat-obatan gratis.
Sosialisasi HIV/AIDS dengan KIE sudah dilakukan sejak awal epidemi, tapi hasilnya nol besar karena materi KIE dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.
Sedangkan pemberian obat ada di hilir yaitu terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS.
Disebutkan pula: Selain itu, Yohanes juga berharap agar masyarakat semakin sadar melakukan pemeriksaan dini sebelum virus HIV berubah menjadi AIDS.
Pemeriksaan dini juga merupakan langkah penanggulangan di hilir (Lihat matriks tes HIV).