(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Lagi pula berapa pasangan yang menikah setiap hari di Sikka?
Coba bandingkan dengan jumlah laki-laki dewasa yang melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko di atas.
KPA Sikka boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di wilayah Kabupaten Sikka tidak ada lokalisasi pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan moral yang menutup semua tempat pelacuran.
Tapi, secara de facto KPA Sikka jelas tidak bisa menjamin bahwa praktek pelacuran tidak ada di Kab Sikka. Lagi pula perilaku-perilaku seksual berisiko tersebut terjadi di ranah privat yang luput dari jangkauan aparat keamanan.
Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sehingga transaksi seks dilakukan melalui ponsel. Sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Di dalam berita disebutkan pula oleh Sekretaris KPA Sikka, Yohanes Siga, "Kita harapkan sebelum menikah harus periksa. Bukan hanya periksa HIV/AIDS tetapi Periksa lengkap. Ini karena Kasus HIV/AIDS meningkat."
Apa kaitan langsung antara tidak 'periksa HIV/AIDS' dengan kasus HIV/AIDS meningkat?
Di atas sudah dijelaskan biar hasil tes HIV sebelum menikah negatif, itu tidak bisa jadi jaminan setelah menikah keduanya, terutama suami, akan tetap HIV-negatif karena bisa saja suami melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.