Kota Bandung disebut tanpa kasus HIV/AIDS baru pada tahun 2030, tapi tidak ada program yang konkret untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS
"Kondisi HIV/AIDS di Kota Bandung sampai Desember 2021 ada sekitar 5.843 kasus positif, itu dari estimasi sekitar 10-11 ribuan, kita masih punya PR sekitar 5-6 ribu yang harus kita cari," kata Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi." Ini ada dalam berita "KPA: Banyak Penderita HIV/AIDS di Bandung Belum Terdata" (detikJabar, 11/8-2022).
Pertanyaannya kemudian adalah: Apa langkah konkret Pemkot Bandung, Jabar, untuk mendeteksi 5-6 ribu warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi atau tidak terdata?
Sayang, dalam berita tida ada penjelasan.
Pertanyaan selanjutnya: Mengapa tidak ada penjelasan tentang langkah Pemkot Bandung untuk 'mencari' warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdata?
Nah, bisa jadi wartawan yang menulis berita ini tidak bertanya. Tapi, bisa juga Pemkot Bandung, dalam hal ini KPA Kota Bandung, memang tidak punya program yang konkret untuk 'mencari' warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdata.
Selain itu Sis juga mengatakan: Selain itu masalah lain banyak dari orang dengan HIV/AIDS berhenti berobat di tengah jalan. "Mereka enggak minuman obat lagi, enggak tahu kenapa, mungkin karena bosan atau apa, sehingga memutuskan lost to follow up."
Terkait dengan warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdata dan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang putus obat, disebutkan oleh Sis: "Itu jadi PR, sedangkan target 2030 itu seharusnya jangan sampai ada kasus baru HIV AIDS, jangan ada kematian dan jangan sampai ada stigma diskriminasi."
Adalah hal yang mustahil pada tahun 2030 tidak ada kasus HIV/AIDS baru di Kota Bandung karena tidak ada program untuk menutup 'pintu masuk HIV/AIDS' yaitu perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, Â
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Kalau Pemkot Bandung tidak mempunyai program yang bisa melakukan intervensi kepada empat perilaku berisiko di atas, maka itu artinya insiden infeksi (kasus) HIV baru akan terus terjadi. Selain itu 5-6 ribu warga Kota Bandung pengidap HIV/AIDS yang tidak terdata jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selain itu pengidap HIV/AIDS yang putus obat pun jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Perlu diketahui apa alasan Odha berhenti minum obat, jangan sekedar anggapan agar bisa dicari jalan keluar. Salah satu faktor yang banyak terjadi di beberapa daerah adalah jarak ke layanan kesehatan yang menyediakan obat antiretroviral (ARV) karena jarak ini memerlukan ongkos.
Bagi Odha dari kalangan miskin tentulah ongkos jadi persoalan besar. Maka, perlu mendekatkan layanan kesehatan yang menyediakan obat ARV ke lokasi tempat tinggal Odha.
Insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terutama terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK (langsung) dan cewek prostitusi online.
Pemkot Bandung boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di Kota Bandung tidak ada (lagi) pelacuran!
Secara de jure benar karena sejak reformasi ada gerakan moral yang menutup tempat-tempat pelacuran, seperti Saritem. Tapi, secara de facto praktek pelacuran tetap ada di Kota Bandung, terutama melalui prostitusi online.
Ini tidak bisa dijangkau karena ada di ranah privat. Transaksi dilakukan melalui ponsel sedangkan eksekusi terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Maka, jangan berharap tahun 2030 tidak ada lagi infeksi HIV baru di Kota Bandung. Justru yang akan terjadi sebaliknya yaitu 'ledakan AIDS' karena penyebaran HIV/AIDS di masyarakat Kota Bandung terus terjadi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H