"Penanggulangan tersebut (penanggulangan HIV/AIDS-pen.) dapat dilakukan secara sistemik dan terpadu, dimulai dari perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, perawatan dukungan obat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan orang yang terdampak HIV/AIDS. Penanggulangan tersebut dapat dilakukan secara sistemik dan terpadu, dimulai dari perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, perawatan dukungan obat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan orang yang terdampak HIV/AIDS."
Pernyataan di atas ada dalam berita "Ada 7.709 Odha di Riau pada Juni 2022" (riau.antaranews.com, 20/7-2022)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pernyataan dan judul berita di atas, yaitu:
Pertama, tidak kaitan antara 'perilaku hidup sehat' dengan penularan HIV/AIDS. Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah hal yang sehat secara seksualitas. Jangan dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama sehingga seks di luar nikah dianggap sebagai perilaku hidup yang tidak sehat.
Justru anggapan itulah yang mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena masyarakat menganggap orang-orang yang tertular HIV/AIDS adalah orang dengan perilaku hidup yang tidak sehat.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual. Ini fatka medis (Lihat matrik risiko penularan HIV).
Kedua, pencegahan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual berisiko, tidak bisa dihentikan pemerintah karena terjadi di ranah privat (Lihat perilaku seksual di bawah ini):
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberap perilaku seksual berisiko berikut ini, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Perilaku seksual berisiko nomor (1), (2), (3) dan (4) ada di ranah privat. Mustahil pemerintah bisa melakukan intervensi untuk memaksa laki-laki selalu memakai kondom.
Yang bisa diintervensi pemerintah yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa adalah pada perilaku berisiko nomor (2)melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Tapi, praktek PSK harus dilokalisir, sementara di Indonesia sejak reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup.
Lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sehingga transaksi seks dengan PSK dan cewek prostitusi online dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Adalah hal yang mustahil mengharapkan setiap individu (warga) tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Mengawasi perilaku seksual setiap warga juga tidak bisa dilakukan.
Pemprov Riau sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No No 4 Tahun 2006 tentang Pecegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, Perda ini tidak jalan karena tidak menukik ke akar persoalan pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko. Bahkan, Perda ini mendorng stigma karena mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan iman dan taqwa sehingga muncul kesan orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Baca juga: Menyibak Peran Perda AIDS Riau dalam Penanggulangan AIDS Riau
Ketiga, terkait jumlah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Provinsi Riau yang dilaporkan (7.709) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution, temuan kasus HIV/AIDS di Riau baru pada angka 66,4 persen dari 11.596.
Jumlah kasus yang dilaporkan (7.709) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Itu artinya ada 3.887 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Riau. Jumlah warga yang menyebarkan akan bertambah dengan infeksi baru yang terjadi melalui empat perilaku berisiko di atas.
Maka, yang diperlukan selain sosialisasi dan edukasi adalah program yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat. Program didukung dengan payung hukum yaitu peraturan daerah (Perda) yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Disebutkan oleh Wagub: Yang sudah diobati atau minum obat sebanyak 2.930 orang. Artinya masih banyak pasien yang positif HIV/AIDS belum sepenuhnya memiliki kesadaran meminum obat HIV."
Ada fakta yang tidak dipahami secara jernih oleh Wagub terkait dengan Odha yang tidak meminum obat antriretroviral (ARV) yaitu keterbatasan akses ke tempat mengambil olat ARV karena tidak semua fasilitas kesehatan (Faskes) menyediakan obat ARV. Ada kalanya hanya di RS ibu kota kabupaten sehingga memerlukan biaya yang besar bagi Odha yang jauh dari RS.
Di tahun 1990-an Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV/AIDS ke daerah asalnya. Tapi, pemerintah Riau lupa bahwa bisa jadi yang menularkan HIV/AIDS ke PSK tersebut adalah laki-laki warga Riau. Dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya yang kelak bermuara pada bayi yang dilahirkan istrinya dengan HIV/AIDS.
Selain itu sudah berapa banyak laki-laki warga Riau yang tertular HIV/AIDS dari PSK yang dipulangkan tersebut. Perlu diingat jika hasil tes HIV, sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku, seseorang positif, maka minimal dia sudah tertular tiga bulan.Â
Itu artinya seorang PSK yang terdeteksi HIV-positif sudah melayani laki-laki sebanyak 225 (1 PSK x 25 hari x 3 bulan x 3 laki-laki per malam) yang bisa saja sebagian besar warga Riau. Laki-laki ini berisiko tinggi tertular HIV/AIDS jika tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Maka, amatlah wajar kalau kemudian ibu rumah tangga terdeteksi HIV-positif karena mereka tertular dari suaminya. Istri-istri yang tertular pun kemudian tanpa sadar menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Karena tidak bisa melakukan intervensi terhadap empat perilaku seksual berisiko, maka yang bisa dilakukan hanyalah memutus rantai penyebaran HIV/AIDS ke bayi yaitu dengan membuat regulasi mewajikan suami ibu hamil menjalani tes HIV. Jangan dibalik karena kalau istrinya duluan dites, ketika hasilnya positif suaminya kabur karena tidak mau jalani tes HIV. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H