(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Pertanyaan untuk Wagug Jateng: Apa langkah Pemprov Jateng melalui KPA Jateng dan jajarannya untuk menghentikan empat perilaku seksual berisiko di atas?
Pemprov Jateng sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 24 April 2009 yang ditandatangani oleh Gubernur Jateng, Bibit Waluyo.
Tapi, Perda ini juga 'mandul' sama seperti seratusan Perda sejenis di Tanah Air karena pasal-pasal pencegahan tidak menukik ke akar masalah yaitu perilaku seksual berisiko. Perd AIDS Jateng malah mengabaikan risiko penularan HIV/AIDS melalui aktivitas seks di tempat-tempat pelacuran.
Baca juga: Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran
Di Jateng sendiri sudah ada beberapa kabapaten dan kota yang menerbitkan Perda penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua perda di Indonesia hanya 'copy-paste.' Selain itu penanggulangan HIV/AIDS dan Perda AIDS di Indonesia juga mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Baca juga: Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand
Disebutkan pula: Dalam mengoptimalkan dan memudahkan upaya pencegahan, KPA harus bisa menggandeng elemen masyarakat yang lain. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan unsur lainnya juga harus diajak diskusi bagaimana meningkatkan pencegahan melalui sosialisasi serta edukasi yang efektif.
Yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu menjangkau pelaku perilaku seksual berisiko di atas, khususnya laki-laki, agar mereka selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko.
Persoalannya adalah perilaku seksual berisiko tersebut semua terjadi di ranah privat. Apalagi yang menyangkut PSK karena ketika reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup, lokaliasi pelacuran pindah ke media sosial. Sekarang ditambah pula dengan praktek prostitusi online. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.