"Dari hasil pendataan, kasus ini (HIV/AIDS di Kota Kendari, Sultra-pen.) didominasi akibat perilaku seks yang menyimpang." Ini ada di dalam berita "Kurang Dua Bulan, 22 Kasus HIV Aids Bertambah" (kendaripos.fajar.co.id, 27/6-2022).
Disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), sampai pertengahan Juni 2022 sebanyak 104.
Terkait dengan pernyataan di atas yang menyebut kasus HIV/AIDS 'didominasi akibat perilaku seks yang menyimpang' merupakan informasi yang keliru.
Dalam kaitan itu tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'perilaku seks menyimpang.' Kalau 'perilaku seks menyimpang' diartikan sebagai zina dengan pekerja seks komersial atau non-PSK, maka pernyataan tersebut misleading (menyesatkan).
Soalnya, penulaan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual). Risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini fakta medis. (Lihat matriks). Â
Istilah yang dikenal terkait dengan faktor risiko hubungan seksual pada penularan HIV/AIDS adalah hubungan seksual yang tidak aman yang merupakan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Kendari atau di luar Kota Kendari dan di luar negeri.
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Kota Kendari atau di luar Kota Kendari dan di luar negeri.
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di Kota Kendari atau di luar Kota Kendari dan di luar negeri.
Sedangkan tentang jumlah kasus yang dilaporkan (104) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (104) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Di bagian lain berita disebut: Ironisnya, Mereka yang terpapar masih diusia produktif antara 25 s.d 49 tahun.
Pernyataan tersebut kontradiktif karena kasus HIV/AIDS terbanyak pada produktif antara 25 - 49 tahun justru realistis. Soalnya, pada usia ini dorongan seksual sangat tinggi. Sebagian besar dari mereka bekerja sehingga bisa membeli seks. Yang perlu diketahui dorongan seksual tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain selain dengan aktivitas seksual.
Yang ironis kalau kasus HIV/AIDS terbanyak terdeteksi pada kakek-kakek dan nenek-nenek (lanjut usia/Lansia) dan pada bayi.
Persoalannya adalah: Bagaimana dan mengapa warga di usia produktif banyak yang tertular HIV/AIDS?
Kondisi itu terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama yang menghilangkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Contohnya pengaitan 'perilaku seks menyimpang' dengan penularan HIV/AIDS dalam berita ini. Penularan HIV/AIDS bukan karena 'perilaku seks menyimpang' tapi karena dilakukan dengan yang mengidap HIV/AIDS di dalam atau di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis.
Karena tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, maka kalangan warga di usia produktif berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko.
Disebutkan oleh Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Kendari, Elffi: Sebagai upaya mengantisipasi penyebaran, Dinkes rutin melakukan skrining terutama bagi pekerja yang rentan terpapar. Apalagi seseorang yang terkena gejala HIV Aids. "Kami mengapresiasi inisiatif Pekerja Seks Komersil (PSK) yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan."
Langkah tersebut ada di hilir. Ketika seorang PSK terdeteksi HIV-positif itu artinya dia sudah tertular HIV/AIDS dari laki-laki, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, serta sudah menularkan HIV/AIDS ke orang lain. (Lihat matriks).
Seseorang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku minimal sudah titular tiga bulan. Itu artinya PSK itu selama tiga bulan sudah melayani banyak laki-laki tanpa kondom.
Yang perlu dilakukan oleh Dinkes Kota Kendari adalah melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas yaitu memaksa laki-laki memakai kondom untuk menurunkan atau mengurangi jumlah kasus baru.
Selama tidak ada intevensi, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual berisiko di atas.
Laki-laki yang tertular dan tidak terdereksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sebagai 'bon waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H