Tentu saja Pemkab Pekalongan tidak bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas karena hal tersebut ada di ranah privat. Apalagi setelah reformasi lokalisasi pelacuran ditutup sehingga pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial dan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Soal LSL, yang lebih dikenal sebagai gay, infeksi HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri. Penyebaran HIV/AIDS terjadi di komunitas LSL, sedangkan seorang laki-laki heteroseksual jika tertular HIV/AIDS akan menularkan ke istrinya. Bahkan, ada laki-laki yang istrinya lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan juga: Dinkes mencoba lebih menggiatkan di tes HIV. Agar bisa menemukan kasus lebih dini, dengan cara langsung mendatangi ke faktor risiko.
Perlu dipahami langkah tersebut ada di hilir. Yang jalani tes HIV sudah melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko di atas.
Padahal, yang diperlukan adalah langkah pencegahan infeksi HIV baru di hulu yaitu pada tiga perilaku seksual di atas.
Tanpa intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom pada perilaku seksual berisiko, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki atau perempuan yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebarah HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS. Itu artinya penyebaran bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI