Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menghitung Kasus HIV/AIDS dengan Rumus Telanjang di Kabupaten Cirebon

27 Mei 2022   10:05 Diperbarui: 27 Mei 2022   10:25 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Rumus' jika ada 1 kasus HIV/AIDS maka ada 100 sampai 200 kasus yang tidak terdeteksi tidak bisa dipakai untuk hitung jumlah kasus HIV/AIDS

"Data komulatif temuan kasus HIV-Aids di Kabupaten Cirebon per April 2022 mencapai 2.653 kasus. Sementara 1 kasus HIV menurut standar WHO adalah 1 berbanding 100 sampai 200. Artinya, di balik 1 kasus yang terungkap dimungkinkan ada 100 sampai 200 kasus yang belum ditemukan." Ini lead dalam berita "2.653 Kasus HIV-Aids per April 2022" (radarcirebon.com, 25/5-2022).

Disebutkan: Sementara 1 kasus HIV menurut standar WHO adalah 1 berbanding 100 sampai 200. Ini tidak akurat karena 'rumus' itu bukan untuk menghitung jumlah kasus.

Dalam sebuah wawancara dengan Prof Dr dr Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, pakar HIV/AIDS, di tahun 1990-an tentang 'rumus' WHO itu Prof Beri, panggilan akrabnya, mengatakan 'rumus' itu tidak bisa dipakai secara telanjang untuk menghitung kasus HIV/AIDS. 'Rumus' itu, menurut Prof Beri, adalah untuk keperluan epidemiologi yaitu menyiapkan tenaga kesehatan, obat-obatan, rumah sakit, dan lain-lain.

Selain itu, masih menurut Prof Beri, 'rumus' itu bisa dipakai untuk keperluan epidemiologi jika di negara itu tingkat pelacuan tinggi sedangkan pemakaian kondom pada laki-laki rendah.

Terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS bisa dikaitkan dengan fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS. Artinya, jumlah kasus yang terdeteksi atau yang dilaporkan di Kabupaten Cirebon, Jabar, sebanyak 2.653 tidak menggambarkan jumlah yang sebenarnya di masyarakat.

Jumlah kasus yang terdeteksi ini (2.653) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemic HIV/AIDS (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Fenomena Gunung Es pada epidemic HIV/AIDS (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, Pemkab Cirebon harus mencari cara yang komprehensif agar tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk mencari warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

Soalnya, warga pengidap HIV/AIDS itu akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda dan keluhan kesehatan yang khas AIDS pada fisik mereka. Penyebaran HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bahkan, bagi laki-laki beristri bisa jadi istrinya lebih dari satu sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS kitan banyak.

Selain itu Pemkab Cirebon juga harus menutup 'pintu masuk' HIV/AIDS, terutama melalui perilaku seksual berisiko, yaitu:

Itu artinya diperlukan langkah di hulu terutama pada poin:

(1) Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(2) Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(3) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(4) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(5) Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Tentu saja pencegahan pada poin (3) mustahil karena praktek PSK tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Kondisinya kian runyam karena sekarang transaksi seks dilakukan melalui media sosial dengan cewek-cewek prostitusi online. Eksekusi dilakukan sembarang waktu di sembarang tempat sehingga mustahil dijangkau (Lihat matriks).

Penjangkauan terhadap praktek-praktek pelacuran (Sumber: Dok. Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Penjangkauan terhadap praktek-praktek pelacuran (Sumber: Dok. Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Dalam berita disebutkan: Ada sejumlah program penanggulangan HIV-Aids yang sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Di antaranya edukasi masyarakat dan komunitas berisiko tinggi, beberapa fasilitas untuk ODHA, ....

Sosialisasi dan edukasi sudah dimulai sejak awal epidemi di tahun 1980-an, tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos, sedangkan fakta medisnya hilang.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks sebelum menikah, zina, selingkuh, melacur dan homoseksual. Padahal, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) karena salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom saat terjadi hubungan seksual (kondisi hubungan seksual) (Lihat matriks).

Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Tanpa langkah-langkah yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat dan menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu, maka kasus HIV/AIDS baru akan terus terjadi di Kab Cirebon.

Warga, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS ini bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Kab Cirebon. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun