Perda AIDS Kota Tangerang Selatan ini, seperti juga Perda-perda AIDS lain, hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak aplikatif untuk mencegah HIV/AIDS
Sudah lebih 150 peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia, tapi hanya 'macan kertas' dan tidak aplikatif karena tidak menukik ke akar persoalan HIV/AIDS.
Lihatlah Perda AIDS Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Provinsi Banten, Nomor 10 Tahun 2019 ini. Disahkan tanggal 9 September 2019 oleh Wali Kota Airin Rachmi Diany.
Pasal pencegahan yang sejatinya jadi inti Perda, tapi seperti juga di Perda-perda AIDS yang lain hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan.
Simaklah ini. Di Pasal 14 ayt (2): Pencegahan penularan melalui hubungan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. tidak melakukan hubungan seksual bagi orang yang belum menikah;
Ini mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah.Â
Risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, belum menikah, zina, melacur, selingkuh, homoseksual, dan lain-lain), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom.Â
Ini fakta medis (lihat matriks).
Orang-orang yang sudah menikah, bahkan masih terikat dalam perkawinan yang sah secara agama dan hukum, banyak terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sebagian dari pengidap HIV/AIDS dalam status terikat pernikahan.
b. setia kepada satu pasangan seksual;
Ini juga tidak akurat karena terbukti banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 30 September 2021, menunjukkan jumlah ibu rumah tangga pengidap AIDS di Indonesia terbanyak ketiga, yaitu 19.053.
Itu artinya istri setia, tapi suaminya tidak setia. Maka, kedua pasangan harus saling setia. Tapi, bisa saja suami mempunyai istri lebih dari satu. Bisa terjadi salah satu dari istrinya mengidap HIV/AIDS sehingga jadi pintu masuk penyebaran HIV/AIDS di keluarga, seperti yang dialami seorang guru agama di Sumatera Utara.
Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS
c. penguatan peran keluarga dalam penerapan kaidah agama sebagai upaya pencegahan perilaku seks pra nikah dan seks berisiko;
Yang jadi masalah besar bukan seks pranikah, tapi seks setelah menikah karena bersiko menularkan ke pasangan (istri) yang kelak berakhir pada anak yang dilahirkan istri. Lagi pula ada agama yang membenarkan istri lebih dari satu yang bisa saja terjadi salah satu istri sudah pernah menikah dengan laki-laki yang tidak diketahui perilaku seksualnya. Sehingga ada kemungkinan salah satu dari istrinya mengidap HIV/AIDS.
Baca juga: Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif
Di sebuah provinsi di Indonesia warga lokal banyak yang bekerja di berbagai perusahaan berbasis sumber daya alam. Karena gaji mereka besar dan ada 'budaya' beristri lebih dari satu, alam beberapa kasus salah satu istri adalah mantan perempuan penghibur. Akibatnya, istri itu jadi sumber penyebaran HIV/AIDS di keluarga tersebut.
d. setia dengan pasangan dengan hanya berhubungan seksual dengan pasangan melalui ikatan pernikahan; dan
Lagi-lagi ini mitos karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (ikatan pernikahan), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.
e. meningkatkan kemampuan pencegahan dan pengobatan IMS.
Pengobatan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara pengidap IMS ke orang lain dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, virus kanker serviks, trikomona, herpes genitalis, dan kutil kelamin) adalah langkah di hilir yaitu dilakukan terhadap warga yang sudah melakukan perilaku seksual berisiko.
Sementara itu di Pasal 23 ayat (1) disebutkan: Pemeriksaan deteksi dini HIV dan AIDS dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV dan AIDS.
Deteksi HIV yaitu tes HIV adalah program di hilir. Artinya, warga yang terdeteksi HIV/AIDS sudah melakukan perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko (lihat matriks).
Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan karena menghentikan adalah hal yang mustahil, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Baca juga: Tidak Ada Intervensi ke Pintu Masuk HIV/AIDS di Perda AIDS Kabupaten Serang
Celakanya, penjangkauan terkait dengan sosialisas pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak bisa lagi dilakukan karena praktek PSK tidak dilokalisir. Lagi pula lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial yang sekarang jadi tempat transaksi seks, sedangkan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Dalam Perda ini tidak ada langkah konkret untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual, sehingga penyebaran HIV/AIDS di Tangsel akan terus terjadi.
"Pintu masuk" HIV/AIDS, yaitu:
Melalui perilaku seksual:
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Perilaku nonseksual:
- Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV karena bisa saja donor mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang didonorkan mengandung HIV;
- Memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahguna Narkoba karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darahnya masuk ke jarum suntik yang akan dipakai penyalahguna lain.
Maka, tanpa ada langkah-langkah yang konkret menutup 'pintu masuk' ini itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Kota Tangeran Selatan akan terus terjadi sebagi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H