Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bisakah Kota Tangerang Bebas AIDS Tahun 2030?

16 Mei 2022   18:03 Diperbarui: 16 Mei 2022   18:07 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: dentistry.uic.edu)

Belakangan ini muncul pernyataan dari pemerintah pusat dan daerah yang mengumbar 'bebas AIDS 2030' tapi semuanya tanpa langkah yang konkret

"Taty (Direktur RSUD Kota Tangerang, Banten -- pen.) Taty Damayanti mengungkapkan, sebagian besar pasien terpapar HIV karena pola seks bebas dan penggunaan jarum suntik secara bersama-sama." Pernyataan ini ada dalam berita "Angka Penderita HIV/AIDS di Kota Tangerang Terus Meningkat", beritasatu.com, 2/12-2021.

Menyebut pasien tertular HIV karena 'pola seks bebas' tidak objektif karena:

Pertama, tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'seks bebas'. Kalau 'seks bebas' dimaksud adalah zina atau hubungan seksual di luar nikah, maka sudah banyak warga Kota Tangerang khususnya dan Indonesia umumnya yang mengidap HIV/AIDS karena banyak warga yang melakukan zina, seperti seks di luar nikah dan perselingkuhan.

Tapi, kenyataannya jumlah pengidap HIV/AIDS tidak sebanyak warga yang pernah atau sering melakukan seks bebas. Seperti di Kota Tangerang, sejak tahun Poli HIV RSUD Kota Tangerang hanya merawat lebih dari 500 pasien HIV/AIDS baik pasien rawat inap maupun rawat jalan. Padahal, warga Kota Tangerang yang pernah atau sering melakukan seks bebas bisa lebih dari 500 orang.

Baca juga: Menyibak Penyebaran HIV/AIDS di Kota Tangerang

Kedua, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, selingkuh, melacur, seks pranikah, dan lain-lain), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks).

Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Ilustrasi: Matriks sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan penularan HIV/AIDS (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ketiga, yang lebih tepat adalah seks yang tidak aman, baik pada seks bebas atau seks sah dan halal, yaitu hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS atau seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Keempat, laporan Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali melakukan hubungan seksual yang tidak aman ada 1 kali risiko tertular HIV/AIDS.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui atau dipastikan pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan HIV/AIDS, bisa yang pertama, kedua, kelima, keempat puluh, kesimbilan puluh atau yang keseratus. Maka, setiap hubungan seksual yang tidak aman ada risiko penularan HIV/AIDS.

Disebutkan oleh Taty 'mayoritas berada di usia produktif khususnya pria'. Ini adalah realitas sosial karena pada usia produktiflah dorongan seksual tinggi. Celakanya, materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), sedangkan fakta medis tentang HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakat.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, seks bebas, pelacuran, homoseksual dan waria. Padahal, penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubunga seksual, tapi karena kondisi hubungan seksual seperti diuraikan di atas.

Fakta medis terkait penularan HIV/AIDS adalah penularan HIV/AIDS terjadi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual. Tapi, ini tidak ada dalam materi KIE tentang HIV/AIDS.

Di bagian lain disebut: Namun, ada pula ibu rumah tangga yang terpapar virus HIV/AIDS lantaran ditularkan suaminya.

Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjalani tes HIV secara sukarela?

Kalau jawabannya: TIDAK, maka itu artinya Pemkot Tangerang membiarkan suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS khususnya di Kota Tengerang dan di luar Kota Tangerang, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan pula: Pemerintah Kota Tangerang, kata Taty, terus berupaya mengupayakan bebas HIV/AIDS pada tahun 2030 ....

Caranya? Disebutkan ".... dengan penyuluhan, terapi, pengobatan dan pertahankan kondisi kesehatan pasien ...."

Cara yang diterapkan Pemkot Tangerang di atas adalah langkah di hilir yaitu terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Sementara itu insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, terus terjadi di hulu antara lain melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) (lihat matriks)

Penjangkauan terhadap praktek-praktek pelacuran (Sumber: Dok. Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Penjangkauan terhadap praktek-praktek pelacuran (Sumber: Dok. Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Baca juga: Ini Mimpi: Indonesia Bebas AIDS Tahun 2030 dan Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS

Disebutkan pula: Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah menyatakan Dinas Kesehatan Kota Tangerang sejak awal tahun 2021 lalu terus menggencarkan skrining tes HIV untuk masyarakat umum.

Pernyataan wali kota itu tidak akurat karena tidak semua orang atau warga Kota Tangerang, disebut masyarakat umum, untuk menjalani tes HIV karena tidak semua warga Kota Tangerang pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Maka, yang dianjurkan tes HIV adalah warga yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula: "Cara lain yang diambil Pemerintah Kota Tangerang untuk menangani hal ini secara serius melalui berbagai upaya. Salah satunya mulai dari edukasi kepada masyarakat, penyuluhan dan penyadaran antistigma. ...."

Penyuluhan, edukasi, dan sosialisasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu yaitu sejak awal epidemi HIV/AIDS di tahun 1980-an. Tapi, karena materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat, terutama cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tidak pernah sampai secara utuh ke masyarakat.

Akibatnya, tetap saja ada warga yang melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Warga, terutama laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. 

Penyebaran HIV/AIDS ini bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Kota Tangerang. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun