Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang Kehilangan Panggung Politik

14 Mei 2022   19:06 Diperbarui: 14 Mei 2022   19:12 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: zambianguardian.com)

Sejumlah gubernur, bupati dan wali kota yang habis masa jabatannya sebelum tahun 2024 akan kehilangan panggung politik baik untuk Capres dan pencalonan masa jabatan kedua

Berdasarkan kesepakatan antara Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, 24/1-2022, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dilangsungkan tanggal 14 Februari 2024, sekaligus juga dengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR, anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota, serta anggota DPD RI.

Maka, gubernur, bupati dan wali kota yang habis masa jabatannya sebelum tahun 2024 otomatis berhenti dan digantikan oleh penjabat (pemegang jabatan orang lain untuk sementara waktu) sampai 27 November 2024. Tanggal ini sebagai waktu untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan wali kota.

Beberapa pejabat publik, terutama gubernur, merupakan figur yang jadi calon presiden (Capres) pada pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2024, yaitu Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, masa jabatannya habis pada Oktober 2022. Selanjutnya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, masa jabatannya habis pada tahun 2023 bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.

Ambang Batas bagi Parpol Usung Capres/Cawapres

Beberapa survei menunjukkan elektabilitas Ganjar dan Anies ada di papan atas. Itu artinya jabatan publik sangat penting bagi mereka karena bisa jadi 'panggung' untuk meningkatkan elektabilitas (KBBI: kemampuan atau kecakapan untuk dipilih menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan).

Ganjar masih punya waktu satu tahun sebagai gubernur sehingga secara langsung atau tidak langsung jabatan publknya itu mempengaruhi elektabilitasnya. Semendara Anies harus mencari 'panggung' selama dua tahun depan agar tetap eksis (KBBI: dikenal dan mendapat perhatian dari banyak orang; tenar; populer).

Jika Anies sudah mempunyai cantelan partai politik (Parpol), sementara Ganjar menghadapi dilema (KBBI: situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan) yang berat.

Sebagai kader PDIP Ganjar tidak masuk daftar Capres atau Cawapres pada Pilpres 2024 karena jauh-jauh hari kelihatannya PDIP akan memasangkan kadernya, Ketua DPR Puan Maharani, dengan kader Gerindra, Prabowo Subianto. Dengan kondisi ini Ganjar akan tersingkir dari daftar Capres/Cawapres.

Berbeda dengan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres tahun 2014. Ketika itu PDIP tidak mempunyai kader yang kuat untuk Capres, sehingga ketika ada desakan dari akar rumput, terutama kalangan relawan, seperti Bara JP, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pun tidak punya pilihan lain selain menjadikan Jokowi sebagai Capres. PDIP terpaksa menggalang koalisi dengan Parpol lain karena perolehan suara PDIP pada Pileg 2019 di bawah 25% suara atau 20% kursi di DPR.

Ketentuan untuk mengung Capres/Cawapres pada Pilpres 2024 dipakai acuan hasil Pileg 2019 sehingga PDIP harus tetap menggalang koalisi dengan Parpol lain. Kondisi ini tidak mudah bagi Ganjar untuk nimbrung sebagai Capres atau Cawapres karena Parpol yang jadi koalisi mempunyai calon, sementara PDIP tidak mungkin mengusung Capres/Cawapres sendiri.

Tentu saja langkah yang tidak mudah untuk mencari 'panggung' (politik) yang gratis seperti jabatan publik. Jika memilih 'panggung' Parpol tentu ada 'ongkos perahu'. Selain itu bisa saja warga tidak suka kepada Parpol yang dijadikan Anies sebagai 'panggung' sehingga mempengaruhi elektabilitasnya.

Ongkos Politik yang Besar

Begitu pula dengan gubernur, bupati dan wali kota yang mau mencalonkan diri lagi pada masa jabatan kedua juga kehilangan 'panggung' politik yang 'gratis'. Secara tidak langsung jabatan mereka jadi 'perahu' untuk meningkatkan elektabilitas. Tapi, setelah masa jabatan habis mereka harus mencari 'panggung' yang baru.

Dengan 'panggung' jabatan publik mereka seakan-akan 'netral' terkait dengan Parpol yang bisa membuat warga tidak apriori [KBBI: berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya] terhadap mereka waluapun di saat mencalonkan diri mereka memilih Parpol tertentu sabagi 'perahu.'

Parpol yang bisa mengusung calon gubernur, bupati dan wali kota pada Pilkada adalah Parpol yang memperoleh 20% kursi atau suara di lembaga legislatif di daerah (DPRD). Masalah baru akan muncul jika Parpol yang dipilih tidak memenuhi kriteria sehingga harus menggalang koalisi. Itu artinya diperlukan ongkos 'perahu' selain untuk Parpol utama juga untuk Parpol yang ikut koalisi.

Itulah sebabnya banyak kalangan yang melihat ongkos Pemilu (pilpres, pileg dan pilkada), disebut juga mahar, di Indonesia sangat besar. Yaitu mahar sebagai ongkos 'perahu' bagi Parpol pengusung, dana untuk kampanye dalam berbagai bentuk, biaya untuk survei serta politik uang, yang dikenal sebagai serangan fajar (mediaindonesia.com, 9/9-2020). 

Disebutkan berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten/kota berkisar Rp 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran Rp 60-78 miliar.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian pejabat publik pada posisi gubernur, bupati dan wali kota banyak yang diciduk KPK karena terlibat pelanggaran hukum, seperti korupsi, dan lain-lain.

Tampaknya, tidak ada jalan keluar yang realistis untuk mengurangi biaya pemilihan pejabat publik di Indonesia. Tentu saja ini mempengaruhi kualitas kepemimpinan karena kemenangan ditentukan ongkos politik bukan kualitas kompetensi sebagai pejabat publik. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun