Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang Kehilangan Panggung Politik

14 Mei 2022   19:06 Diperbarui: 14 Mei 2022   19:12 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: zambianguardian.com)

Ketentuan untuk mengung Capres/Cawapres pada Pilpres 2024 dipakai acuan hasil Pileg 2019 sehingga PDIP harus tetap menggalang koalisi dengan Parpol lain. Kondisi ini tidak mudah bagi Ganjar untuk nimbrung sebagai Capres atau Cawapres karena Parpol yang jadi koalisi mempunyai calon, sementara PDIP tidak mungkin mengusung Capres/Cawapres sendiri.

Tentu saja langkah yang tidak mudah untuk mencari 'panggung' (politik) yang gratis seperti jabatan publik. Jika memilih 'panggung' Parpol tentu ada 'ongkos perahu'. Selain itu bisa saja warga tidak suka kepada Parpol yang dijadikan Anies sebagai 'panggung' sehingga mempengaruhi elektabilitasnya.

Ongkos Politik yang Besar

Begitu pula dengan gubernur, bupati dan wali kota yang mau mencalonkan diri lagi pada masa jabatan kedua juga kehilangan 'panggung' politik yang 'gratis'. Secara tidak langsung jabatan mereka jadi 'perahu' untuk meningkatkan elektabilitas. Tapi, setelah masa jabatan habis mereka harus mencari 'panggung' yang baru.

Dengan 'panggung' jabatan publik mereka seakan-akan 'netral' terkait dengan Parpol yang bisa membuat warga tidak apriori [KBBI: berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya] terhadap mereka waluapun di saat mencalonkan diri mereka memilih Parpol tertentu sabagi 'perahu.'

Parpol yang bisa mengusung calon gubernur, bupati dan wali kota pada Pilkada adalah Parpol yang memperoleh 20% kursi atau suara di lembaga legislatif di daerah (DPRD). Masalah baru akan muncul jika Parpol yang dipilih tidak memenuhi kriteria sehingga harus menggalang koalisi. Itu artinya diperlukan ongkos 'perahu' selain untuk Parpol utama juga untuk Parpol yang ikut koalisi.

Itulah sebabnya banyak kalangan yang melihat ongkos Pemilu (pilpres, pileg dan pilkada), disebut juga mahar, di Indonesia sangat besar. Yaitu mahar sebagai ongkos 'perahu' bagi Parpol pengusung, dana untuk kampanye dalam berbagai bentuk, biaya untuk survei serta politik uang, yang dikenal sebagai serangan fajar (mediaindonesia.com, 9/9-2020). 

Disebutkan berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten/kota berkisar Rp 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran Rp 60-78 miliar.

Maka, tidak mengherankan kalau kemudian pejabat publik pada posisi gubernur, bupati dan wali kota banyak yang diciduk KPK karena terlibat pelanggaran hukum, seperti korupsi, dan lain-lain.

Tampaknya, tidak ada jalan keluar yang realistis untuk mengurangi biaya pemilihan pejabat publik di Indonesia. Tentu saja ini mempengaruhi kualitas kepemimpinan karena kemenangan ditentukan ongkos politik bukan kualitas kompetensi sebagai pejabat publik. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun