Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membicarakan Politik Bukan Hal yang Tabu Seperti di Masa Rezim Orde Baru

5 Mei 2022   19:25 Diperbarui: 5 Mei 2022   19:30 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: e-ir.info)

Setiap pertemuan antara tokoh atau pejabat tinggi selalu dikatakan bahwa mereka tidak membicarakan masalah politik, suasana jadi seperti di masa rezim Orba

"Dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo berbincang-bincang beragam hal yang ringan, tidak ada obrolan tentang politik maupun ekonomi." Ini ada dalam berita "Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo Bersilaturahmi di Gedung Agung" (setkab.go.id, 2/5-2022).

Hal yang sama juga terjadi terkait dengan pertemuan Presiden Jokowi dan Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X, juga dikatakan hanya silaturrahmi antara kedua tokoh itu tidak membicarakan masalah politik.

Setiap ada pertemuan antara dua tokoh yang terkait dengan pemerintahan selalu saja disebutkan tidak ada pembicaraan tentang politik.

Ada kesan (pembicaraan) terkait dengan politik merupakan hal yang tabu. Kalaupun disebut sensitif tentu saja harus ditempatkan secara proporsional terkait dengan isu yang dibicarakan.

Selama ini politik sering dan selalu dikaitkan dengan masalah-masalah yang lebih bersifat individu sebagai pejabat publik atau pejabat negara sehingga menimbulkan gejolak yang subjektif.

Kondisi ini jadi kembali ke masa rezim Orde Baru. Pertemuan lebih dari lima orang harus ada izin. Setiap pertemuan yang tidak dilaporkan dianggap sebagai pembicaraan politik dan akan jadi urusan pihak yang berwajib.

Di tahun 1980-an penulis pernah dipanggil instansi keamaman bersama teman-teman kelompok diskusi sesama mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Medan, Sumatera Utara. Rupanya, ada 'kibus' (kaki busuk), semacam intel, di kampus yang melaporkan bahwa kami mengadakan diskusi politik.

Yang jadi aneh, kami memang mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik (Sospol), ya sudah barang tentu membicarakan politik biar pun ada mahasiswa dari fakultas lain. Pembicaraan tentu menyangkut program pemerintah yang merupakan bagian dari politik. Kalau pun mucul kritik itu bagian dari diskusi dengan materi politik.

Memang, tidak ditahan tapi hampir sehari menerima 'wejangan' dan kami disebut mengadakan 'rapat gelap'. Padahal, diskusi di ruang kuliah sore hari dan terbuka.

Maka, ketika ada tokoh yang bertemu dan mengadakan pembicaraan tertutup apa pun yang mereka bicarakan tentulah merupakan hak mereka sebagai warga negara yang dilindungi oleh undang-undang (UU), selama tidak ada akibat dari pembicaraan mereka.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), politik disebut sebagai:

  1. (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): 
  2. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain: 
  3. cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan: 

Andaikan Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo berbicara soal lebaran terkait dengan kegembiraan masyarakat yang boleh mudik setelah dua tahun dilarang, tentulah hal ini juga merupakan isu politik karena menyangkut kebijakan negara, dalam hal ini pemerintah.

Jika Jokowi bertanya kepada Prabowo tentang perjalanannya dari Jakarta ke Yogyakarta di saat mudik lebaran, tentulah itu juga terkait dengan politik (pemerintah) dan menangani transportasi mudik lebaran.

Andaikan Jokowi dan Prabowo bicara calon presiden (Capres), itu juga hak privasi mereka sebagai warga negara asalkan tidak dibawa ke ranah publik. Bisa saja Jokowi bertanya apakah Prabowo akan maju jadi Capres pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Jokowi bertanya karena dia kader PDIP sehingga perlu informasi dari sumber primer. Tentu saja tidak seperti wawancara, tapi dengan berbagai cara dan gaya yang khas pada masing-masing.

Begitu juga ketika silaturrahmi dengan Sultan HB X. Pembicaraan tentang warga DIY yang mudik jelas merupakan objek politik karena Sultan seorang gubernur dan Jokowi seorang presiden yang saling terkait dalam prolitik pemerintahan.

Obrolan tentang penangangan pandemi Covid-19 juga objek politik karena ada kebijakan pemerintah pusat dalam menanggulangi pandemi yang diteruskan ke provinsi.

Lalu, apa yang salah kalau dua tokoh atau pejabat tinggi bicara politik yang terkait dengan pemerintahan?

Mungkin yang bisa jadi persoalan kalau pembicaraan itu mengarah ke politik praktis (kehidupan politik secara nyata) yang langkah-langkah partai politik untuk mencapai tujuannya. Tapi, ini pun kalau di ranah privasi tentu tidak jadi masalah.

Lain halnya kalau pembicaraan dibawa ke ranah publik dan jadi polemik yang berkepanjangan tentulah akan jadi masalah yang bermuara kepada tokoh yang membeberkan hasil pembicaraan mereka.

Maka, sudah saatnya literasi terkait dengan politik digencarkan agar lebih terbuka agar tidak kembali ke suasana di masa Orba yang melarang warga bicara dan diskusi politik. Ini era reformasi di masa globalisasi. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun