Kondisinya kian runyam kalau label 'halal dan syariah' juga jadi bagian dari pariwisata Danau Toba karena simbol-simbol pranata adat masyarakat Batak yang merupakan kearifan lokal akan terganggu. Padahal, di Bali, Yogyakarta, Toraja (Sulsel) budaya dan kesenian jadi ikon pariwisata yang merupakan daya tarik bagi Wisman. Itu artinya upaya Jokowi mengembangkan sektor yang kebal terhadap resesi itu pun akan 'gatot' (gagal total). Akibatnya, kucuran dolar tidak sampai ke masyarakat.
4. Bantu Warga Kembangkan Homestay
Atraksi adalah pertunjukan seni. Di Bali, misalnya, pertunjukan seni komersial (berbayar), seperti tari kecak bisa disaksikan di gedung pada siang hari. Sedangkan di KDT pertunjukan seni dikomersialkan. Artinya, tidak ada standar tarif resmi karena pertunjukan seni tidak ada tempat khusus dan jadwal yang tetap.
Masalah yang juga jadi informasi busuk adalah komersialisasi seni. Pertunjukan seni dikomersilkan dengan tarif yang tidak baku. Di Bali pertunjukan seni komersial yaitu dilakukan di gedung dengan membeli karcis resmi yang dibebani pajak. Maka, di Danau Toba perlu ada gedung pertunjukan seni dengan jadwal tetap sehingga Wisman bisa mengatur waktu untuk menonton.
"Cuma duduk di kursi saja harus bayar!" Ini keluhan nyata pelancong yang datang ke Danau Toba. Tentu saja ini tidak pada tempatnya sehingga membuat pelancong kapok duduk di warung atau restoran (medan.tribunnews.com, 5/1-2019)
Untuk itulah perlu papan pengumuman di warung, restoran, penginapan, losmen dan hotel tentang menu, daftar harga dan tarif jasa agar tidak menipu dan menjerat pelancong.
Keselamatan pelayaran di Danau Toba juga perlu diperhatikan karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang memakan banyak korban. Standar keselamatan wajib bagi pelayaran agar Danau Toba tidak jadi 'kuburan' kapal.
Pemerintah juga perlu membantu warga untuk menyiapkan rumah mereka sebagai homestay dengan standar yang layak untuk Wisman. Tahun 1990-an ada WN Jerman yang membuka hotel di Carita, Banten, dengan bangunan kayu berkolong. Tapi, kamar mandinya luks dengan standar Eropa.
Faktor lain yang menghambat Wisman ke Danau Toba adalah lama tempuh perjalanan darat dari Bandara Kualanamu ke Parapat rata-rata 5 -- 6 jam. Ini jelas tidak mendukung aksesibilitas bahkan merugikan Wisman dalam efisiensi waktu. Karena waktu yang terpakai untuk transportasi dari dan ke Danau Toba saja sudah 10 -- 12 jam. Ini sama saja dengan satu hari. Jika ada akses jalan tol dari Bandara Kualanamu ke Parapat tentu akan menghemat waktu karena diperkirakan jika ada jalan tol waktu tempuh sekitar 2 jam.
Hanya dengan langkah-langkah terukur yang bisa 'menyelamatkan' pariwisata Danau Toba agar jadi tujuan utama Wisman setelah Bali dan Yogyakarta sehingga Danau Toba jadi DSP (destinasi super prioritas) dalam kancah pariwisata global. *