Remaja di tingkat SMP dan SMA/SMK mengalami masalah gizi yaitu kurang energi dan protein serta masalah sosial. Padahal, energi merupakan bahan bakar pada sistem metabolisme tubuh manusia pada proses pencernaan, pernapasan, peredaran darah dan denyut jantung.
Kegiatan rutin sehari-hari mulai dari bernapas, bergerak, bekerja, terutama belajar bisa lancar kalau energi cukup. Dengan kondisi energi yang kurang, maka siswa-siswi akan menghadapi kendala dalam belajar, seperti kurang konsentrasi, pusing, sakit kepala dan mengantuk.
Pada webinar GESID yang diselenggarakan oleh Danone Indonesia yang kerja sama dengan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB Bogor, 14/12-2020, Prof Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi, Dosen FEMA IPB, menungkapkan kondisi remaja, khususnya pelajar SMP dan SMA/SMK di Indonesia terkait dengan tingkat kecukupan energi.
Berdasarkan data Balitbangkes (2015).Tingkat kecukupan energi pada remaja belum mencapai 100%. Data yang disampaikan Prof Sri Anna menunjukkan tingkat kecukupan energi pada remaja baru mencapai 72,3%, tingkat kecukupan protein pada remaja 82,5%. Remaja juga mengalami anemia karena kekurangan zat besi, folat dan vitamin B-12 serta infeksi.
Tingkat anemia pada remaja usia 15-24 tahun sebesar 32%, lebih tinggi daripada usia 5-14 tahun yaitu sebesar 26% (Riskesdas, 2018). Anemia menyebabkan lemah dan lelah yang bisa menyebabkan sesak napas, pusing dan sakit kepala. Hal ini tentu saja mengganggu proses belajar remaja.
Kebiasaan (buruk) remaja dan pelajar yang akhirnya jadi 'gaya hidup' yang tidak sehat, antara lain terjadi karena: 65% remaja tidak sarapan sebelum ke sekolah; 35% sarapan, tapi 90,2% sarapan rendah nutrisi; 20% anak sekolah punya kebiasaan makan < 3 kali per hari; 97% kurang makan sayur dan buah; 57% kurang aktivitas fisik, dan 45% tidak mencuci tangan dengan benar (ini salah satu pintu masuk infeksi di kalangan remaja dan pelajar).
Selain masalah energi, protein dan anemia dan kesehatan secara umum remaja dan pelajar juga diharapkan memperoleh pendidikan seksualitas, seperti menghindari pernikahan dini dan menghindari perilaku-perilaku yang mendorong kejahatan seksual serta infeksi menular seksual.
Soalnya, dari data yang disampaikan Dr Ir Dwi Hastuti, MSc, Dosen FEMA IPB ini muncul kekhawatiran karena kekerasan seksual pada remaja terjadi akibat pornografi 42,4%, pengaruh teman sebaya 30,3%, minuman keras 16,7%, pengaruh narkoba 3%, dan lain-lain 7,6%.
Sedangkan remaja yang menikah pada usia 15 - 24 tahun mencapai 4%, menikah pada usia < 15 tahun sebanyak 2,6%, serta kehamilan usia remaja terjadi pada 36/1.000 remaja dan pelajar.