"Kedua edukasi penggunaan alat kontrasepsi dalam hubungan seks salah satu cara memutus mata rantai." Ini pernyataan Wali Kota Sukabumi sekaligus Ketua KPA Kota Sukabumi, Jawa Barat, Achmad Fahmi, terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS dalam berita "Kasus Baru HIV-AIDS di Sukabumi Tetap Muncul Saat Pandemi" (republika.co.id, 27/10-2020).
Tentu saja pernyataan di atas tidak akurat karena tidak semua alat kotrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan) bisa mencegah penularan HIV/AIDS, dalam hal ini melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Alat kontrasepsi yang dipakai di Indonesia adalah pil, suntikan, spiral (IUD) dan kondom.
Yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya kondom yaitu yang dipakai oleh laki-laki sehingga penis tidak bersentuhan langsung dengan vagina dan cairan vagina.
Dalam berita disebut: Sementara secara akumulatif kasus HIV-AIDS sejak 2000 hingga 2020 sebanyak 1.667. Yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 1.667, tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Jumlah kasus yang terdeteksi, dalam hal ini 1.667, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, penanggulangan di hulu hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru, sekali lagi hanya bisa menurunkan, pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
PSK sendiri dikenal dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek prostitusi online.
Intervensi terhadap laki-laki supaya memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual hany bisa dilakukan pada hubungan seksual dengan dengan PSK langsung dengan syarat praktek PSK langsung dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi ada gerakan massal dengan nuansa moral yang menutup semua tempat pelacuran.
Itulah sebabnya sekarang pelacuran pindah ke media sosial yang melibatkan PSK tidak langsung sehingga tidak bisa diintervensi karena transaksi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Selain itu langkah lain adalah menemukan kasus HIV/AIDS di masyarakat dengan cara-cara yang tidak melawan hokum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Disebutkan pula: Keempat bagaimana mempermudah akses penderita mendapatkan layanan dalam hal pengobatan HIV-AIDS.
Pengobatan adalah langkah penanggulangan di hilir. Sebelum seorang warga mendapatkan pengobatan dia sudah menularkan HIV/AIDS, misalnya, kalau seorang sumai menularkan ke istri (horizontal) atau pasangan seks lain, seperti selingkuhan, pacar, dll. Yang tidak beristri menularkan ke pasangan seks, seperti pacar atau PSK.
Dengan kondisi seperti sekarang adalah hal yang sulit menekan jumlah kasus baru HIV/AIDS karena tidak ada yang bisa dilakukan di hulu. Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS di masyarakat bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H