Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kematian Pertama Terkait HIV/AIDS dan Covid-19 Terjadi di Bali

2 Juli 2020   08:00 Diperbarui: 2 Juli 2020   07:55 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga muncul mitos (anggapan yang salah), sedangkan informasi tentang Covid-19 dibeberkan riwayat kontak Pasien 01 dan 02 secara vulgar yang tidak terkait langsung dengan penularan Covid-19 sehingga HIV/AIDS dan Covid-19 pun berujung pada stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Di Indonesi ada persamaan antara epidemi HIV/AIDS dan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang luput dari perhatian banyak orang yang jadi faktor yang pendorong stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Pengidap HIV/AIDS yang secara internasional disebut sebagai People living with HIV/AIDS (PLWHA) dengan padanan yang dianjurkan oleh Pusat Bahasa sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Odha sering diperlakukan berbeda di layanan kesehatan dan masyarakat. Ini terjadi karena stigma yang melekat pada Odha.

Kematian Pertama Terkait HIV/AIDS Suburkan Mitos

Hal yang sama terjadi pada orang yang positif Covid-19, tapi tidak di tempat-tempat layanan kesehatan. Stigma dan diskriminasi terjadi terhadap orang yang positif Covid-19, termasuk tenaga kesehatan yaitu dokter dan perawat, justru di masyarakat. Mayat penderita Covid-19 pun ditolak dimakamkan oleh warga.

Stigma terhadap Odha dan penderita Covid-19 serta nakes terjadi karena informasi awal yang tidak komprehensif.

Baca juga: Berkali-kali Diusir Karena Dikenal Sebagai 'Pengantin AIDS'

Sejak awal epidemi HIV/AIDS pemerintah selalu menampik HIV/AIDS akan masuk ke Indonesia dengan alasan Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang berbudaya dan beragama. Padahal, semua bangsa dan negara di muka bumi ini berbudaya dan beragama (dalam pengertian luas). Penularan HIV/AIDS pun dikait-kaitkan dengan penyimpangan seksual, pelacuran, zina, seks di luar nikah, 'seks bebas', bule, orang asing, dll.

Nah, ketika seorang turis Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987, meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS pemerintah pun langsung mengakui di Indonesia sudah ada HIV/AIDS. Ini merupakan keputusan politis untuk menguatkan pernyataan pejabat tinggi, pakar, agamawan, tokoh masyarakat, dll. yang berseliweran di media massa. Soalnya, turis Belanda itu, EGH, seorang homoseksual, dalam hal ini gay. Selain itu EGH orang bule atau orang asing.

Epidemi HIV/AIDS secara global sudah terjadi sejak tahun 1981, tapi Indonesia baru mengakui HIV/AIDS ada di Indonesia ketika seorang turis Belanda, EGH, meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tanggal 5 April 1987. Padahal, berdasarkan laporan, waktu itu Depkes, tahun 1987 terdeteksi 4 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Secara teoritis pengidap HIV/AIDS ini tertular sebelum tahun 1987 atau jauh sebelum turis Beladan itu masuk ke Bali. Lagi pula tidak ada riwayat kontak antara pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi tahun 1987 dengan turis Belanda itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun