Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelamatkan Masyarakat Adat dari Pandemi Covid-19

25 Mei 2020   08:28 Diperbarui: 25 Mei 2020   09:06 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Adat Baduy di Lebak, Banten. (Sumber: news.trubus.id/Hadi Nugroho)

Itu artinya masyarakat adat sangat rentan tertular Covid-19 ketika mereka keluar dari komunitasnya, seperti ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari karena mereka tidak disiapkan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak memakai masker dan tidak paham dengan jarak fisik untuk cegah penularan corona.

Risiko Jika OTG Jadi Wisatawan ke Komunitas Masyarakat Adat

Ketika warga masyarakat adat yang pulang dari pasar kembali ke komunitasnya ada risiko yang besar yaitu terjadi penyebaran virus jika ada diantara warga masyarakat adat yang tertular Covid-19 di luar komunitasnya, seperti di pasar. Dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup bersama secara komunal (kelompok yang hidup bersama) sehingga physical distancing sulit dilakukan oleh anggota masyarakat adat.

Kehidupan masyarakat 'Orang Rimba' di Jambi. (Foto: metropekanbaru.com).
Kehidupan masyarakat 'Orang Rimba' di Jambi. (Foto: metropekanbaru.com).

Celakanya, banyak pula orang yang menjadikan kehidupan masyarakat adat sebagai objek wisata dan berita. Ini membuka peluang bagi penyakit orang-orang yang menyebut diri berbudaya membawa 'penyakit' ke masyarakat adat.

Tidak ada sinyal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melarang 'orang-orang berbudaya' masuk ke wilayah masyarakat adat yang tersebar di Nusantara.

Beberapa komunitas masyarakat adat jadi 'objek wisata' orang-orang yang menyebut dirinya berbudaya. Di Banten, misalnya ada suku Baduy di wilayah Kabupaten Lebak. Baduy jadi tujuan wisata banyak kalangan sehingga ada risiko terjadi penyebaran Covid-19 di Baduy.  Di Pulau Sumatera ada Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi. Komunitas ini juga jadi tujuan 'wisata' dan objek penelitian dan sumber berita. Di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll. juga banyak suku asli yang jadi objek wisata.

Celakanya, belum ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk menghentikan perjalanan wisata 'orang-orang berbudaya' ke komunitas masyarakat adat. Soalnya, seperti selalu diingatkan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, setiap hari melalui konferensi pers yang disiarkan dari BNPB Jakarta, masyarakat harus waspada karena ada OTG (orang tanpa gejala) yang jadi sumber penyebaran Covid-19. OTG ini adalah orang yang tertular Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala dan mereka pun tidak merasa ada gangguan kesehatan yang berarti.

Dalam kaitan itulah bisa saja ada OTG di antara 'pelancong' yang masuk ke komunitas masyarakat adat. Ketika ada warga masyarakat adat yang tertular Covid-19 itu merupakan pemicu penyebaran virus di masyarakat adat yang bisa berakibat fatal bagi komunitas masyarakat adat.

Maka, sudah saatnya pemerintah setempat, atau  Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, menghentikan perjalanan wisata, penelitian dan peliputan berita ke komunitas masyarakat adat. Pemerintah juga diharapkan memberikan masker dan sembako ke masyarakat adat sebagai kalangan yang juga terdampak Covid-19 agar mereka tidak keluar dari komunitasnya sebagai bagian dari upaya menyelamatkan masyarakat adat Nusantara. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun