Kepala Bappenas: Tes Covid-19 di Indonesia Termasuk Rendah. Ini judul berita di kompas.com, 20/5-2020. Pernyataan yang jujur. Soalnya, Â Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, setiap sore dalam konferensi pers dari Graha BNPB Jakarta selalu menyebut: Akumulasi data tersebut diambil dari hasil uji spesimen sebanyak 211.883 yang dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di 66 laboratorium dan Tes Cepat Molekuler (TCM) di 29 laboratorium. Sebanyak 154.139 orang yang diperiksa didapatkan data 19.189 positif dan 134.950 negatif." (ini tanggal 20 Mei 2020).
Bagi yang tidak awas terkesan tes dilakukan terhadap 154.139 orang, padahal angka ini adalah akumulasi (jumlah) orang yang tes Covid-19 dengan PCR dan TCM sejak tanggal 2 Maret 2020. Ada kesan dengan jumlah orang yang dites sebanyak itu hasilnya rendah yaitu 693.
Padahal, yang menjalani tes Covid-19 dengan PCR dan TCM untuk data tanggal 20 Mei 2020 adalah sebanyak 6.340 orang. Ini diperoleh dari pengurangan kumulatif tanggal 20 Mei 2020 sebanyak 154.139 dengan 19 Mei 2020 sebanyak 147.799 orang. Dari 6.340 orang yang jalani tes Covid-19 dengan PCR dan TCM hasil positif Covid-19 sebanyak 693 atau 10,93 persen.
1. Vietnam Tanpa Kasus Kematian Covid-19
Dengan jumlah orang yang jalani tes sejak tanggal 1 Mei 2020 sd. 20 Mei 2020 sebanyak 81.788 orang hasilnya 9.701orang positif Covid-19 atau 11,86 persen. Besaran jumlah orang yang tes antara 2.863 (paling sedikit tanggal 5 Mei 2020) dan 6.644 (paling banyak tanggal 8 Mei 2020).
Dikatakan oleh Kepala  Bappenas, Suharso Monoarfa, sampai 20 Mei 2020 jumlah warga yang jalani tes Covid-19 sebanyak 202.936 dengan hasil 743 per 1 juta populasi (penduduk). Angka ini jelas sangat rendah. Di kawasan ASEAN saja angka ini hanya menang dari Myanmar dan Laos (Lihat Grafik 1).
Kalau dibandingkan dengan negara lain dalam skala internasional, maka angka tes per 1 juta populasi di Indonesia hanya sepadan dengan negara-negara miskin di Amerika Latin dan Afrika (Lihat Grafik 2).
Menteri Koordinator Pembangunan, Manusia Kebudayaan ( Menko PMK) Muhadjir Effendy, menyebut kasus Covid-19 di Indonesia landai bagi sebagian orang dianggap kabar gembira. Tapi, bagi yang memahami statistik dan surveilans pada epidemi atau pandemi penyakit pernyataan itu tidak akurat. Hal ini disampaikan Menko Muhadjir pada konferensi pers di Istana Negara, 8 Mei 2020.
Angka laporan kasus baru yang disampaikan Jubir Yuri, panggilan Achmad Yurianto, itu landai karena jumlah warga yang jalani tes per hari juga landai dan kecil. Kalau saja Yuri menyebut angka yang faktual yaitu jumlah orang yang tes PCR dan TCM per hari tentulah masyarakat akan bisa memahami realitas yang sesungguhnya bukan 'PHP' seperti yang disampaikan Menko Muhadjir karena angka itu tidak realistis (Lihat Tabel 1).
Kalangan ahli sudah mengatakan ketika tidak ada vaksin, maka salah satu cara mengatasi pandemi, dalam hal ini virus corona, adalah dengan melakukan tes Covid-19 yang masif dan sistematis. Hal ini sudah dibuktikan oleh Korea Selatan (Korsel), Thailand dan Vietnam.
Bahkan, di Vietnam tidak ada kematian terkait Covid-19. Kasus di Vietnam dilaporkan 324 di peringkat ke-142 dunia. Begitu otoritas China melaporkan kasus virus corona baru ke WHO (31/12-2019) penguasa di Vietnam dengan gencar melakukan tes Covid-19 sejalan dengan tracing skala nasional.
2. Indonesia Andalkan Rapid Test Butuh Tes Konfirmasi
Langkah Vietnam itu tidak dilakukan di Indonesia. Ketika kasus pertama Covid-19 diumumkan pemerintah, dalam hal ini oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada tes Covid-19 dengan spesimen swab pakai PCR yang masif. Yang dilakukan hanya rapid test dengan hasil reaktif dan non reaktif yang masih harus melakukan tes ulang (konfirmasi) dengan tes PCR.
Bahkan, ketika pandemi Covid-19 merebak di banyak negara pemerintah Indonesia justru memberikan diskon ongkos kapal terbang ke 10 destinasi wisata. Penerbangan internasional juga baru dihentikan total tanggal 5 Februari 2020 ketika wabah corona sudah menggila di banyak negara.
Bandingkan dengan Korsel belum menemukan kasus tapi sudah menjalankan tes spesimen swab dengan PCR berskala nasional mulai tanggal 2 Januari 2020 atau dua hari setelah laporan China ke WHO. Kasus pertama di Korsel terdeteksi pada tanggal 20 Januari 2020. Sedangkan Indonesia baru mulai tes sejak tanggal 2 Maret 2020 (Lihat Matriks 1).
Di Matrik 1 di atas dengan jelas tampak perbedaan yang nyata langkah Korsel dan Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19. Padahal, banyak kalangan yang memperkirakan Korsel akan jadi episentrum corona. Prakiraan ini meleset karena episentrum Covid-19 terbang ke Eropa, menyeberang ke Benua Amerika.
Maka, amat wajar kalau kasus di Korsel sampai 21 Mei 2020 dilaporkan 11.122 dengan peringkat ke-44 dunia. Sedangkan Indonesia sampai 20 Mei 2020 kasus yang dilaporkan sebanyak 19.189 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-33 dunia.
Selain tes massal Covid-19 langkah lain yang bisa jadi penghalang penyebaran virus corona adalah penguncian (lockdown). Indonesia memilih cara Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Celakanya, justru pemerintah sendiri yang mengangkangi PSBB yaitu dengan pelonggaran berupa izin operasional angkutan umum darat, KA, laut dan udara.
Kalau Indonesia hanya menunggu-nunggu vaksin Covid-19 untuk menanggulangi penyebaran virus corona, itu sama saja dengan membiarkan Indonesia jadi 'neraka' pandemi Covid-19 yang akan membuat negeri ini porak-poranda. *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI