Kabupaten Semarang Intensifkan 'Penjaringan' Pengidap HIV. Ini judul berita di republika.co.id, 20/1-2020. Ini akan dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pemakaian kata 'penjaringan' tidak tepat karena kata ini berasal dari kata dasar 'jaring' [KBBI: alat penangkap ikan, burung, dan sebagainya yang berupa siratan (rajutan) tali (benang) yang membentuk mata jala].
Dengan menyebut 'penjaringan pengidap HIV' ada kesan akan dilakukan tracing (melacak). Persoalannya adalah apa parameter terukur yang dipakai untuk menjaring atau melacak warga Kabupaten Semarang yang mengidap HIV/AIDS?
Tentu saja penjaringan akan menimbulkan masalah karena warga Kabupaten Semarang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Ini karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Dalam berita disebutkan: .... untuk memenuhi target penjaringan pengidap HIV/AIDS yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. Dari data perkiraan 2.900 pengidap HIV AIDS, baru ditemukan 900 pengidap di antaranya.
Kemenkes tidak pernah menetapkan target penjaringan yang ada adalah estimasi jumlah kasus HIV/AIDS, dalam hal ini di Kab Semarang, yaitu 2.900. Sedangkan yang sudah terdeteksi, bukan terjaring, baru 900.
Disebutkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Semarang, dr Hesty Wulandari: .... Dinkes bakal menggandeng Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Semarang untuk melakukan VCT ke 900 perusahaan formal yang ada di daerah tersebut.
Langkah yang akan dilakukan oleh Dinkes Kab Semarang ini benar-benar di luar akal sehat dan menyesatkan.
Pertama, tidak semua karyawan perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.
Kedua, tes HIV adalah sukarela sehingga jika kelak semua karyawan atau buruh menjalan tes HIV itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM.
Ketiga, jika hasil tes HIV positif bagaimana nasib buruh atau karyawan tsb.? Bisa-bisa di-PHK, padahal bisa saja mereka tertular HIV bukan karena perilaku seksual yang berisiko. Buruh perempuan, misalnya, ditularkan oleh pacar atau suami.
Maka, untuk mendeteksi (bukan menjaring) 2.000 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, maka diperlukan sistem yang komprehensif yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Misalnya, membuat regulasi, seperti peraturan bupati (Perbub) atau peraturan daerah (Perda), yang mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV/AIDS, maka dilakukan tes HIV. Jika hasilnya positif, selanjutnya istrinya yang hamil menjelani konseling dan tes HIV. Ini perlu untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Bisa juga Perbub atau Perda yang mewajibkan peserta BPJS Kesehatan yang iurannya dibayar pemerinah pusat dan daerah yaitu penerima bantuan iuran (PBI) menjalani konseling dan tes HIV setiap kali berobat ke sarana kesehatan pemerintah.
Sekarang di beberapa daerah yang dilakukan adalah anjuran kepada ibu hamil untuk tes HIV, tapi banyak suami yang menolak tes HIV sehingga suami-suami itu akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Walaupun 2.000 kasus yang tidak terdeteksi akhirnya bisa terdeteksi itu tidak berarti semua kasus sudah terdeteksi karena di hulu terus terjadi insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Pemkab Semarang, dalam hal ini Dinkes Kab Semarang dan KPA Kab Semarang, membusungkan dada dengan mengatakan: Di wilayah Kab Semarang tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup. Tapi, secara de facto apakah Pemkab Semarang bisa menjamin tidak ada transaksi seks dalam berbagai modus di wilayah Kab Semarang?
Tentu saja tidak bisa karena transaksi seks tetap saja terjadi dalam berbagai modus, bahkan dengan memakai media sosial yang melibatkan prostitusi online.
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di wilayah Kab Semarang akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H