Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat Berli Hamdani mengatakan, hingga September 2019 kasus AIDS di Jawa Barat turun sekitar 5 ribu, sedangkan untuk HIV turun sekitar 7 ribu (Kasus HIV/AIDS Di Jabar Turun 5 Hingga 7 Ribu, rmoljabar.com, 29/11-2019). Informasi ini misleading (menyesatkan) karena tidak jelas yang dimaksud turun dalam kaitan ini.
Bisa jadi yang turun adalah jumlah kasus baru yang terdeteksi. Ini tidak menggambarkan jumlah riil warga Jawa Barat (Jabar) yang tertular HIV/AIDS, baik yang sudah lama atau kasus infeksi baru.
Mengapa terjadi penurunan penemuan kasus baru?
Ada bebarapa faktor, misalnya, penjangkauan ke masyarakat terutama populasi kunci (gay, biseksual, waria, pekerja seks komersial/PSK dan pelanggannya). Ini terjadi karena tidak ada lagi donor yang mendanai LSM untuk melakukan penjangkauan sekaligus membawa mereka ke tempat layanan tes HIV yaitu Klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling sebelum dan sesudah tes HIV). Selain itu warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS belum masuk masa AIDS sehingga tida ada keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 27/8-2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2019 adalah 43.735 yang terdiri atas  36.853 HIV dan 6.882 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dalam jumlah kumulatif HIV/AIDS. Sedangkan peringkat Jabar berdasarkan jumlah kasus AIDS ada di posisik ke-6 dengan jumlah kasus 6.882.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jumlah kasus yang dilaporkan (43.735) tidak menggambarkan angka atau jumlah riil warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (43.735) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkans sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya banyak warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena tidak ada gejala pada fisik atau keluhan kesehatan yang terkait HIV/AIDS pada diri orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Dalam epidemi mereka itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV ke istrinya atau pasangan seks lain. Jika istri mereka tertular HIV ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang mereka kandung kelak, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Dalam berita disebutkan "Usia produktif yaitu 15-49 tahun dinilai paling rentan terjangkit HIV/AIDS." Celakanya, tidak ada penjelasan kenapa mereka rentan tertular HIV/AIDS.
Secara seksual hal itu justru wajar dan realistis karena pada rentang usia itulah libido seks mengebu-gebu. Masalahnya adalah mereka tidak mendapat informasi yang akurat tentang cara melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual. Akibatnya, mereka jadi orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka sering melakukan hubungan seksual, terutama dengan PSK, tanpa memakai kondom.
Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis